Kamis, 20 Januari 2011

Syaikh Abul Qasim Junaid Al-Baghdadi

Syibili hendak berguru kepada Junaid, ia berkata, “Banyak yang bilang pada saya bahwa Guru adalah ahli nomor satu soal mutiara penyadaran dan hikmah ilahiah. Berilah saya salah satu mutiara itu atau juallah pada saya.”
Junaid tersenyum. “Kalau kujual, kau takkan mampu membayarnya. Kalau kau kuberi, kau akan meremehkannya, karena begitu mudah memperolehnya. Lakukanlah seperti yang kulakukan; selami Lautan. Jika kau menunggu dengan sabar, akan kau temukan Mutiaramu.”
***



Asy-Syibli Dan Al-Junaid

Abu Bakr ibnu Dulaf ibnu Jahdar (‘asy-Syibli’), dan Abul Qasim al-Junaid, si ‘Merak Kaum Terpelajar’, adalah dua guru Sufi awal. Mereka berdua hidup dan mengajar lebih dari seribu tahun yang lalu. Kisah tentang masa belajar asy-Syibli di bawah al-Junaid, diberikan di sini, diambil dari The Revelation of the Veiled, salah satu dari buku-buku penting dalam bidangnya. al-Junaid sendiri memperoleh spiritualitasnya melalui pengaruh Ibrahim ibnu Adham (‘Ibnu Adhem’ dalam puisi Leigh Hunt), ia sebagaimana Budha, adalah seorang pangeran yang turun tahta mengikuti tarekat (Jalan), dan meninggal pada abad kedelapan.

Asy-Syibli, anggota istana yang angkuh, pergi ke al-Junaid, mencari pengetahuan sejati. Katanya, “Aku dengar bahwa engkau mempunyai karunia pengetahuan. Berikan, atau juallah padaku.”

Al-Junaid berkata, “Aku tidak dapat menjualnya padamu, karena engkau tidak mempunyai harganya. Aku tidak memberikan padamu, karena yang akan kau miliki terlalu murah. Engkau harus membenamkan diri ke dalam air, seperti aku, supaya memperoleh mutiara.”

“Apa yang harus kulakukan?” tanya asy-Syibli.
“Pergilah dan jadilah penjual belerang.”

Setahun berlalu, al-Junaid berkata padanya, “Engkau maju sebagai pedagang. Sekarang menjadi darwis, jangan jadi apa pun selain mengemis.”
Asy-Syibli menghabiskan satu tahun mengemis di jalanan Baghdad, tanpa keberhasilan. Ia kembali ke al-Junaid, dan sang Guru berkata kepadanya:

“Bagi ummat manusia, kau sekarang ini bukan apa-apa. Biarkan mereka bukan apa-apa bagimu. Dulu engkau adalah gubernur. Kembalilah sekarang ke propinsi itu dan cari setiap orang yang dulu kau tindas. Mintalah maaf pada mereka.” Ia pergi, menemukan mereka semua kecuali seorang, dan mendapatkan pengampunan mereka.

Sekembalinya asy-Syibli, al-Junaid berkata bahwa ia masih merasa dirinya penting. Ia menjalani tahun berikutnya dengan mengemis. Uang yang diperoleh, setiap senja dibawa ke Guru, dan diberikan kepada orang miskin. Asy-Syibli sendiri tidak mendapat makanan sampai pagi berikutnya.

Ia diterima sebagai murid. Setahun sudah berlalu, menjalani sebagai pelayan bagi murid lain, ia merasa menjadi orang paling rendah dari seluruh makhluk.

Ia menggunakan ilustrasi perbedaan antara kaum Sufi dan orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dengan mengatakan hal-hal yang tidak dapat dipahami masyarakat luas.

Suatu hari, karena bicaranya tidak jelas, ia telah diolok-olok sebagai orang gila di masyarakat, oleh para pengumpat. Dia berkata: Bagi pikiranmu, aku gila. Bagi pikiranku, engkau semua bijak. Maka aku berdoa untuk meningkatkan kegilaanku Dan meningkatkan kebijakanmu ‘Kegilaanku’ dari kekuatan Cinta; Kebijakanmu dari kekuatan ketidaksadaran.
***

Tugas Murid Junaid

Junaid Al-Baghdadi, seorang tokoh sufi, mempunyai anak didik yang amat ia senangi. Santri-santri Junaid yang lain menjadi iri hati. Mereka tak dapat mengerti mengapa Syeikh memberi perhatian khusus kepada anak itu.

Suatu saat, Junaid menyuruh semua santrinya untuk membeli ayam di pasar untuk kemudian menyembelihnya. Namun Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat di mana tak ada yang dapat melihat mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka harus dapat menyelesaikan tugas itu.

Satu demi satu santri kembali ke hadapan Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih. Akhirnya ketika matahari tenggelam, murid muda itu baru datang, dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak boleh melaksanakan perintah Syeikh yang begitu mudah.

Junaid lalu meminta setiap santri untuk menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu, menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana. Santri ketiga berkata bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya sendiri. Dengan itu, ia fikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong ayamnya. Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di sana.

Tibalah giliran santri muda yang tak berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak dapat menjalankan perintah guru, “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia masih bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia masih menemaniku. Aku tak boleh pergi ke tempat di mana tak ada yang melihatku.

***

Keluarga Terpilih

Imam Abul Qusim Aljunaid r.a. bercerita :
Sekali peristiwa ketika aku pergi naik haji ke Baitullah Al-Haram, dan juga untuk menziarahi maqam Nabi alaihis-shalatuwasalam, sedang aku dalam perjalanan menuju kesana ,tiba tiba terdengar oleh telinga ku  suatu suara rintihan  yang melas serta sangat menyayat hati, yang pada anggapan ku tentulah suara itu datangnya dari hati seorang yang remuk remdam.
Aku pun mencari cari dari mana datangnya sumber suara itu, dan ternyata bahwa rintihan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang sangat kurus, lemah, namun wajahnya bercahaya terang seperti bulan. Saya mendekatinya, ia membuka matanya dan langsung  mengucapkan ..Assalamualaikum, ya Abul Qasim!!..
Waalaikumussalam! Jawab ku penuh kehairanan….Nak, siapakah yang memberitahukan nama ku pada mu, sedangkan kita belum pernah mengenal satu sama lain ?  Aku bertanya kepadanya..
Wahai Abul Qasim ! Saya telah mengenali bapak sejak dialam Roh. Dan Allah lah yang memberikan nama bapak kepada ku. Demi Allah , wahai Abul Qasim, kalau aku sudah mati, maka mandikan dan bungkuslah aku dengan baju yang aku pakai ini, dan naiklah kebukit itu, lalu panggillah orang orang untuk menyalati ku, lalu tanamlah aku ditempat ini pula ! Hanya Allah lah yang akan membalas segala kebaikan bapak.

Berkata Abul Qasim Aljunaid lagi menyambung ceritanya :
Kemudian aku lihat anak muda tadi penuh berkeringat dahinya sehingga membasahi seluruh wajahnya, suaranya semakin menekan, barang kali , kerana kesakitan….Dalam pada itu ia sempat berpesan lagi, katanya:
Wahai ABUL Qasim ! Setelah anda selesai menunaikan haji mu, dan sudah mau  kembali kenegeri mu, hendaklah anda menuju dulu ke Bagdad, dan tanyakan lah orang orang disana tentang kampung Darb Za’faran. Setelah tiba dikampung itu, tanyakan pula tentang ibu ku dan putra ku serta sampaikanlah salam kepada mereka!…. Baiklah, jawab ku.
Anak muda itu kemudian merintih makin lama makin lemah, dan tak lama sesudah itu pulanglah ia ke rahmatullah dengan tenangnya, sedang kan wajahnya  tampak  semakin bercahaya.     Saya pun memandikannya, kemudian mengafankanya dengan bajunya. Sesudah itu saya naik keatas bukit dan berseru dengan suara keras sekali::         wahai orang orang sekalian ! marilah kita bersama sama menyalati mayat asing ini!.
Tiba tiba datanglah beribu ribu orang dari segenap penjuru, seperti ulat layaknya, sedang wajah wajah mereka bagaikan terangnya cahaya bulan purnama. Kami pun menuruti bersama menyalati mayat itu, kemudian menguburkannya. Setelah selesai penguburan mayat itu, maka dengan serta merta pula, hilanglah ribuan orang orang tadi secara mendadak dan tampa ada bekasnya. Saya benar benar kehairanan atas kejadian itu, juga atas kemuliaan mayat yang tidak saya kenal sebelumnya.
Setelah selesai ibadat haji, saya segera pergi ke Bagdad, dan terus menuju kekampung  Darb Za’faran . setelah menemukanya  tampak  dilorong lorong kecil kampung itu ada anak anak sedang bermain main. Tiba tiba seorsng dari antara mereka memandang tajam kepada ku, seraya mendekati  ku dan berkata:
Assalamualaikum, ya Abul Qasim! Mungkin kedatangan tuan untuk untuk memberitahu tentang kematian ayah ku, agaknya ?
Hati ku terkejut mendengar pertanyaan anak kecil itu. Ah, alangkah  tepatnya apa yang dikatakan, padahal ia masih demikian kecil. Ia kemudian menuntun ku kesebuah rumah, lalu mengetuk pintunya. Seorang wanita tua membuka pintu, dan alangkah terangnya wajah wanita tua itu, dan alang kah salihan ia tampaknya.    Saya mengucapkan salam kepadanya . Ia pun segera membalasnya, lalu menangis terisak isak . kemudian ia bertanya: Wahai Abul Qasim ! Dimanakah tempat kematian anak ku, dan cahaya mata ku. Moga moga ia mati da Arafah ?!
Jawab ku:" tidak!"…..apakah di Mina?!……jawab ku: "tidak !"  ….di Muzdalifah?! ….jawab ku: "tidak"…..Habis dimana?! Tanya ibu itu, Dipadang pasir, dibawah pohon ghailan???……..jawab ku: "Ya,,"
Mendengar berita itu ia menjerit keras seraya berkata:;   oh anak ku! Oh anak ku! Suaranya bercampur tangisan yang sungguh menyayat hati semua orang yang disitu.     Oh! Anak ku !  Oh anak ku!  Mengapa tidak disampaikannya ke rumah Nya (Baitullah) ,atau dibiarkanNya saja ia dengan kami?  Ibu itu terus sesak dadanya, dan ketika itulah ia menghembuskan nyawanya meninggalkan dunia yang fana ini, kembali ke rahmatullah, moga moga  Allah mencucuri rahmat ke atas rohnya.
Berkata Aljuniad seterusnya :
Melihat neneknya telah meninggal dunia, anak kecil itu pun mendekati manyatnya sambil menangis terisak isak. Kemudian menengadah kearah langit seraya berdoa :;
Ya Allah, ya Tuhan ku Mengapa Engkau tidak ambil  aku bersama sama nenek ku ! Ya Allah , lebih baik Engkau ambil aku untuk pergi bersama sama mereka berdua!… Dengan tiba tiba saja sesaklah dada anak kecil itu, dan ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir, moga moga Allah merahmati mereka sekalian.
Saya benar benar tercengang menyaksikan segala peristiwa yang baru berlaku tadi itu, dan saya kira alangkah bahagianya keluarga itu. Saya merawati jenazah itu bersama dengan tetangga mayat itu dangan sempurna dan baik .
Setelah kami menguburkan jenazah jenazah itu, maka dangan hati yang penuh sedih dan hiba, saya meninggalkan kubur kubur mereka!!

***

Pengalaman Belajar Shaykh Junayd Baghdadi

Syaikh Junaid Baghdadi pergi untuk jalan-jalan keluar Baghdad. Murid-murid mengikutinya.
Syaikh bertanya bagaimana kabar bahlul yang gila ?
Mereka menjawab, “Dia adalah orang gila, apa yang anda perlukan dari dia?”
“bawalah aku ke dia, karena aku ada perlu dengan nya.”
Para murid mencari Bahlul dan menemukannya di padang pasir. Mereke membawa Syaikh Junaid kepadanya
Ketika Syaikh Junaid pergi mendekati Bahlul, Beliau melihat Bahlul dalam keadaan gelisah dengan batu bata ada dibawah kepalanya (posisi kepala dibawah ?)
Syaikh mengucapkan salam
Bahlul menjawab dan bertanya, “Siapakah Anda? ”
” Saya Junaid Baghdadi.”
Bahlul bertanya, “Apakah Anda Abul Qasim?”
“Ya, betul !” jawab Syaikh
Bahlul bertanya lagi ” Apakah Anda Syaikh Baghdadi yang memberikan orang-orang Petunjuk spiritual? ”
“Ya!” kemudian Bahlul bertanya ” Tahukah Anda bagaimana cara makan?”
“Ya!” Saya mengucapkan Bismillah (Dengan mengucap nama Allah SWT). Saya makan yang paling dekat dengan saya, Saya mengambil gigitan kecil, meletakkannya di sisi kanan dari mulut saya, dan mengunyah pelan-pelan. Saya tidak nampak ke gigitan yang lain. Saya mengingat Allah SWT saat makan. Untuk sebutir apapun yang saya makan, Saya mengucap Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah SWT). Saya mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.”
Bahlul berdiri, meggerakkan pakaiannya pada Syaikh, dan berkata, ” Anda ingin menjadi pemimpin spiritual dunia tapi Anda tidak pun mengetahui bagaimana cara makan.” setelah mengucapkannya, dia langsung pergi.
Para Murid Syaikh berkata, “O Syaikh! Dia orang yang gila. ”
Shaykh menjawab, Dia adalah orang gila yang sangat pandai dalam berucap. dengarkan pernyataan yang benar dari nya.
Setelah mengucapkan Beliau pergi dibelakang Bahlul, dan berkata, ” Saya ada perlu dengan Bahlul.”

Ketika Bahlul mencapai bangunan yang berdebu, dia duduk. Junaid mendekatinya.
Bahlul bertanya, “Siapakah Anda?”
” Syaikh Baghdadi yang pun tidak mengetahui bagaimana cara makan.”
” Anda tidak mengetahui bagaiaman makan, tapi apakah Anda tahu bagaimana berbicara?”
“Ya”
” Bagaimana anda berbicara ?”
” Saya berbicara secara umum dan langsung pada pokok masalah. Saya tidak berbicara terlalu tinggi atau terlalu banyak. Saya berbicara sehingga para pendengar dapat mengerti. Saya memanggil semua orang di dunia untuk kembali ke Allah dan Nabi SAW. Saya tidak berbicara terlalu banyak sehingga semua orang akan bosan. Saya memperhatikan kedalaman pengetahuan spiritual dan yang umum.
kemudian dia menggambarkan apapun yang berhubungan dengan Adab dan etika
Bahlul berkata, “Lupakan soal makan, Anda pun tidak mengetahui bagaimana berbicara.”
Bahlul berdiri, meggerakkan pakaiannya pada Syaikh dan pergi
Para murid berkata, “O Syaikh! Anda lihatkan, dia orang yang gila. Apa yang Anda harapkan dari orang yang gila!”
Syaikh berkata, ” Saya ada perlu dengan dia. Kalian tidak tahu.”
Sekali lagi Beliau pergi setelah Bahlul sampai Beliau menjumpainya.
Bahlul bertanya, “Apa yang Anda inginkan dari saya? Anda yang tidak mengetahui Adab makan dan bicara, apakah Anda mengetahui bagaimana cara untuk tidur?”
” Ya, saya tahu.”
” Bagaimana cara tidur?” Bahlul bertanya
” Ketika saya selesai sholat Isya’ dan membacakan permohonan, saya pakai baju tidur saya.”
Kemudian beliau menggambarkan adab-adab tidur yang sudah diterima oleh beliau dari Orang-orang yang telah belajar agama.
Bahlul kemudian berkata : ” Saya mengerti bahwa Anda pun tidak mengetahui juga bagaimana untuk tidur.”
Dia ingin berdiri, tapi Junaid menangkap memegang pakaian nya dan berkata, O Bahlul! Saya tidak mengethuinya; Demi kecintaan kepada Allah SWT ajari saya.
Bahlul berkata ” Anda mengklaim pengetahuan dan berkata bahwa anda tahu sehingga Saya mencegah Anda. sekarang Anda mengakui ketiadaan pengetahuan Anda, Saya akan mengajari Anda.”
“Tahu apapun yang Anda utarakan itu adalah tidak penting.”
” Kebenaran dibalik memakan makanan yang Anda makan menurut hukum adalah sepotong demi sepotong. Jika Anda makan makanan yang dilarang juga, dengan seratus adab, hal itu tidak akan menguntungkan Anda, tapi bisa menjadi alasan untuk menghitamkan hati.”
” Semoga Allah memberkati Anda pahala yang sangat besar.” ucap Syaikh.
Bahlul melanjutkan, Hati haruslah bersih, dan memiliki niat yang baik sebelum Anda mulai bicara. dan pembicaraan Anda haruslah menyenangkan Allah SWT. Jika itu untuk segala urusan dunya atau pekerjaan yang sia-sia, maka apapun yang Anda ekspresikan, akan menjadi bencana bagi Anda. Itulah sebabnya diam dan tenang adalah yang terbaik.”
“Apapun yang Anda ucapkan tentang tidur juga tidak penting. Kebenarannya adalah bahwa hati Anda seharusnya bebas dari permusuhan, cemburu, dan kebencian. Hati Anda seharusnya TIDAK rakus untuk dunia ini atau kekayaanya, dan ingatlah Allah SWT ketika akan tidur.
Syaikh Junaid kemudian mencium tangan Bahlul dan berdoa untuk nya.
Para murid yang menyaksikan kejadian ini, dan yang telah berfikir bahwa Bahlul gila, melupakan tindakannya dan memulai hidup baru

====
Moral : Pelajaran nya adalah jika seseorang tidak mengerti tentang sesuatu, seharusnya dia tidakmalu untuk belajar; seperti Shaykh Junayd yang telah belajar Adab makan, bicara dan tidur .

***

Delapan Sifat Kaum Sufi




Dalam ajaran Sufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Sufi memiliki:
Kemurahan hati seperti Ibrahim a.s.;
Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail a.s.;
Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya’kub a.s.;
Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria a.s.;
Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya a.s.;
Jubah wool seperti mantel gembala Musa a.s.;
Pengembaraan, seperti perjalanan Isa a.s.;
Kerendah-hatian, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad saw.

Kisah Hikmah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar