Senin, 27 Desember 2010

BAGAIMANA ORANG TUA NABI MUHAMMAD?

Salah satu syubhat yang ditujukan kepada kaum Ahlussunnah adalah tentang apakah kedua orang tua Rasulallah muslim. Menurut mereka, tidak ada dasar hadits yang dapat dipertanggungjawabkan, termasuk salah satunya adalah hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: حَجَّ بِنَا رَسُوْلُ اللهِ حَجَّةَ الْوَدَاعِ فَمَرَّ بِي عَلَى عَقَبَةِ الْحَجُوْنِ وَهُوَ بَاكٍ حَزِيْنٌ مُغْتَمٌّ فَنَزَلَ فَمَكَثَ عَنِّي طَوِيْلاً ثُمَّ عَادَ إِلَيَّ وَهُوَ فَرِحٌ فَتَبَسَّمَ فَقُلْتُ لَهُ فَقَالَ: ذَهَبْتُ إِلَى قَبْرِ أُمِّي فَسَأَلْتًُ اللهَ أَنْ يُحْيِيْهَا فَآمَنَتْ بِي وَرَدَّهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ


“Dari A’isyah rda. ia berkata: ‘Rasulallah bersama-sama kami melaksanakan haji wada’. Saat lewat di Aqabah Hajun bersamaku beliau menangis sedih dan susah, kemudian beliau turun dan tinggal beberapa lama, kemudian kembali kepadaku dalam keadaan gambira dan tersenyum, lalu aku katakan kepadanya dan beliau menjawab: ‘Aku pergi ke makam ibuku, lalu aku minta supaya Allah menghidupkannya kemudian ibuku beriman kepadaku dan Allah mengmbalikannya lagi.”
Hadits ini adalah dha‘if menurut Imam as-Suyuthi serta diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dalam an-Nasikh wa al-Mansukh,[1] meskipun oleh Ibnul Jauzi dikatakan maudhu’.
Al-Ajhuri mengatakan bahwa yang benar hadits masyhur tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Rasulallah adalah termasuk hadits dha‘if dan bukan maudhu’ ataupun shahih, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Syahin, Ibnu Asakir, as-Suhaili dan Ibnu Nashir.[2]

Al-Habib Abdullah Ba-Alawi dalam Is’ad ar-Rafiq syarah kitab Sullam at-Taufiq, mengatakan, “Yang haq (pendapat yang benar untuk di ikuti) sebagaimana yang di tahqiq-kan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Hafizh as-Suyuthi dan lain-lain bahwa ayahanda (atau ayah leluhur) Rasulallah tidak ada yang berstatus kafir, hal itu adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap kedudukan nubuwwah, begitu juga dengan ibunda (atau ibu leluhur) beliau. Seperti halnya leluhur Rasulallah yang semuanya tidak ada yang kafir begitu juga leluhur para Nabi-Nabi lain. Adapun Azar yang di kenal sebagai ayahanda Nabi Ibrahim, sebenarnya  adalah bukan ayah tapi paman sebagaimana pendapat para ulama kita ”.
Menurut al-Bajuri dan Hasan al-Adawi[3] bahwa hadits tersebut shahih menurut ahli hakikat, sebagaimana tertuang dalam syair-syair mereka:
أَيْقَنْتُ أَنَّ أَبَا النَّبِيِّ وَأُمَّهُ حَتَّى لَهُ شَهِدَا بِصِدْقِ رِسَالَةٍ هَذَا اْلحَدِيْثُ وَمَنْ يَقُوْلُ بِضُعْفِهِ

أَحْيَاهُمَا الرَّبُّ الْكَرِيْمُ اْلبَارِي صِدْقٍ فَتِلْكَ كَرَامَةُ الْمُخْتَارِ فَهُوَ الضَّعِيْفُ عَنِ الْحَقِيْقَةِ عَارِي

>> Aku meyakini bahwa ayah dan ibu Nabi dihidupkan kembali oleh Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Mulia.
>> Hingga mereka berdua bersyahadat akan kebenaran risalah yang benar, maka itu adalah suatu kehormatan bagi Rasulallah.<span> Hadits tentang ini dan yang mengatakan dha‘if adalah orang yang dha‘if sendiri dan tidak tahu hakikat sebenarnya.</span>

Asy-Sya'rani mengatakan, bahwa Imam as-Suyuthi banyak menulis kitab yang berkenaan dengan status orang tua Nabi yang selamat dari siksa Neraka, termasuk satu risalah yang ditulis dalam al-Hawi lil Fatawi. Dan di antara yang menyutujui hadits tersebut (tidak maudhu’ seperti penilaian al-Hafizh Ibnul Jauzi), adalah: al-Khathib al-Baghdadi, Ibnu ‘Asakir, Ibnu Syahin, as-Suhaili, al-Qurthubi, ath-Thabari, Ibnu Munayyir, Ibnu Nashiruddin, Ibnu Sayyid an-Nas dan ash-Shafadi.[4]
Kemudian akhir dari kesimpulan pendapat-pendapat ulama dalam lingkungan Ahlussunah adalah: orang tua Nabi Muhammad termasuk orang-orang yang selamat dari Neraka, dengan alasan:
  1. Hadits di atas  dapat diterima, karena meskipun dha‘if secara ilmu riwayat atau musthalah tapi shahih secara kasyf. Adapun penilaian maudhu’ Ibnul Jauzi tidak dibenarkan ulama.
  2. Termasuk ahli fatrah (masa kekosongan utusan yang menyampaikan risalah) sebagai mana sabda Allah:
وَمَا كُنّا مُعَذِّبِينَ حَتّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“Aku tidak akan menyiksa sampai Aku mengutus seorang rasul.”

Dan ahlu fatrah tidak akan disiksa dalam Neraka. Hal itulah yang disepakati ulama-ulama Asy’ariyyah baik dari kalangan ahli ushul Syafi’iyyah, Malikiyah dan ulama-ulama ahli fiqh.[5]
  1. Semua ayah, ibu dan kakek-kakek Nabi dihukumi iman tidak kufur sebagaimana dalil Q.S. asy-Syu’ara’: 219 dalam salah satu pentafsiran ulama tafsir:
وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ
“Nur Muhammad selalu berpindah-pindah dari orang-orang yang ahli sujud.” 

dan hadits Nabi (mutawatir):

لَمْ أَزَلْ أُنْقَلُ مِنَ اْلأَصْلاَبِ الطَّاهِرَاتِ إِلَى اْلأَرْحَامِ الزَّاكِيَاتِ
“Aku selalu dipindah-pindahkan dari tulang rusuk yang suci ke rahi-rahim yang bersih.”[6] 

Sedangkan mengenai pernyataan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Dihyah bahwa kejadian menghidupkan orang tua Nabi bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits dan ijma’ adalah pernyataan tidak tepat. Sebab, selain sangat mungkin terjadi baik secara syara’ maupun akal, menghidupkan orang tua Nabi termasuk karamah dan kekhususan (bagi Rasulallah) dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan ijma’. Adapun  keterangan bahwa iman tidak berfaidah setelah ajal menjemput itu jika bukan satu ke-khususan.[7]

       Lalu bagaimana dengan larangan Allah terhadap istighfar Nabi untuk  ibunya? Jawabnya, sebagaimana dikatakan Muhammad Ba ‘Athiyyah sebagai berikut:
  1. Istighfar tersebut dilakukan sebelum ibundanya dihidupkan dan beriman kepada Rasulallah.
  2. Adanya maslahat yang harus mengakhirkan istighfar Rasulallah sampai waktu yang diizinkan.[8]
Sedangkan menanggapi hadits riwayat Muslim tentang perkataan Nabi saat menjawab pertanyaan salah satu shahabat: “Ayahku dan ayahmu di Neraka” seperti yang juga disampaikan al-Albani maka harus ada pen-ta’wil-an, dan di antara penta’wilannya adalah:
  1. Yang dimaksudkan dengan kata “ab” dalam hadits tersebut adalah paman sebagaimana budaya Arab yang memanggil pamannya dengan “abu”. Dan hal itu yang terjadi pula pada Azar paman Nabi Ibrahim.
  2. Asbabul wurud hadits (asal-muasal diucapkan hadits) tersebut sebelum turun ayat ke 15 Surat al-Isra’.[9]
  3. Hadits riwayat Muslim tersebut adalah hadits ahad (lawan dari hadits mutawatir), dan hadits ahad yang dalalah-nya zhanni (hasil dari hadits ahad yang hanya penyangkaan kuat saja dan tidak pasti) tidak bisa menentang dalil qath’i (Q.S. al-Isra’: 15)[10]
Ulama ahli tahqiq (teliti dengan dalil) mengatakan bahwa seyogianya tidak membicarakan masalah ini kecuali dengan adab dan masalah ini juga bukan masalah i’tiqad yang berdosa jika tidak mengetahuinya. Sedangkan menjaga mulut itu lebih baik dan lebih selamat, lebih-lebih dalam masalah yang berkaitan dengan kekurangan-kekurangan.[11]
Al-Qadhi Ibnu Arabi al-Maliki, seorang ahli fiqih dan hadits dari kalangan Malikiyyah, ketika ditanya tentang seseorang yang mengatakan bahwa ayahhanda Nabi masuk Neraka, beliau menjawab: “Orang tersebut dilaknat karena Allah berfirman (Q.S. al-Ahzab: 57):

إنَّ الّذِينَ يُؤْذُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللهُ في الدُّنْيَا والآخِرَةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan rasul-Nya dilaknat oleh Allah di dunia dan akhirat.”[12] 
As-Suhaili setelah meriwayatkan hadits al-Hakim dari Ibnu Mas’ud (dan dikatakan shahih olehnya):

سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَبَوَيْهِ فَقَالَ مَا سَأَلْتُهُمَا رَبِّي فَيُعْطِيْنِي فِيْهِمَا وَإِنِّي الْقَائِمُ يَوْمَئِذٍ الْمَقَامَ الْمَحْمُوْدَ
“Rasulallah ditanya tentang ayahanda dan ibunda beliau, beliau menjawab: ‘Sesuatu yang aku minta kepada Tuhanku untuk kedua orang tuaku, Allah memberikannya kepadaku untuk kedua orang tuaku, dan aku yang akan mengurus mereka saat dalam maqam mahmud [syafaat].”

hadits riwayat al-Hakim tersebut memberikan sebuah isyarat bahwa Rasulallah memberikan syafaatnya kepada orang tua beliau supaya keduanya ditolong ketika terjadi goncangan yang tejadi saat Hari Kiamat.[13]
Kesimpulannya, hukum hadits tentang dihidupkannya kembali orang tua Nabi masih diperselisihkan ulama. Dan pendapat yang diyakini mayoritas ulama Ahlussunnah adalah hadits tersebut dha‘if secara riwayat dan bukan maudhu’. Sehingga alangkah lebih bijaknya andai pengkritik dapat mendudukkan perselisihan tersebut dengan arif dan bijaksana bukan malah terkesan memandang sebelah mata terhadap ulama-ulama yang berpendapat bahwa penghidupan kembali orang tua Nabi adalah benar adanya.
Kemudian menjawab musykil Ibnul Jauzi yang menilai hadits di atas adalah maudhu’, karena Ibunda Rasulallah dimakamkan di Abwa’ bukan Hajun, adalah sebagaimana pernyataan Syaikh Hasan al-Adawi yang menukil ucapan sebagian huffazh hadits (sebagai pengumpulan riwayat hadits yang menerangkan bahwa ibu Rasulallah dimakamkan di Abwa’ dan riwayat lain menyatakan dimakamkan di Hajun), bahwasannya yang dimaksudkan adalah kemungkinan pemakaman Ibunda Rasulallah dipindahkan dari Abwa’ ke Hajun.[14]
Menurut Sayyid Alawi Abbas al-Maliki, mengenai di mana sebenarnya Ibunda Rasulallah wafat dan di semayamkan, terdapat bebarapa pendapat. Ada yang mengatakan wafat di Abwa' (sebuah tempat antara Mekkah dan Madinah) dan di makamkan disana, ada pula yang mengatakan wafat di Mekkah dan dimakamkan disana, atau tepatnya di Hajun dan ada yang mengatakan di makamkan di Dar Rabi'ah di Ma'la.

Dalam syarah al-Mawahib al-Laduniyyah di katakan bahwa pendapat pertama adalah pendapat yang masyhur. Dan pendapat ini di sampaikan oleh Ibnu Ishaq, al-Iraqi dan al-Hafizh Ibnu Hajar. Sedangkan menurut pengarang kitab Tarikh al-Khamis, ada kesempatan untuk mengumpulkan dua pendapat berbeda di atas bahwasannya Ibunda Rasulallah pertama kali di makamkan di Abwa' dan kemudian di pindahkan ke Mekkah (Hajun) dan di semayamkan disana. Pendapat ini selain senada dengan Syaikh Hasan al-Adawi di atas juga di nilai sangat bagus oleh Sayyid Alawi sendiri[15].


[1] Ad-Durar al-Muntatsirah (pinggir Fatawi Haditsiyah) hlm. 234.
[2] Hasyiyah Syarah al-Baiquniyyah hlm. 44.
[3] Tuhfah al-Murid hlm. 19, an-Nafahat asy-Syadziliyyah hlm. 51.
[4]  Al-Yawaqit wal Jawahir 2/57.
[5] An-Nafahat asy-Syadziliyah hlm. 51-52.
[6] Mujaz al-Kalam Muhammad Ba ‘Athiyah hlm. 37.
[7] Ibid. hlm. 45.
[8] Mujaz al-Kalam hlm. 45.
[9] Ibid. hlm.46
[10] Tuhfah al-Murid hlm. 19.
[11] Mujaz al-Kalam hlm. 40.
[12] Ibid.
[13] Al-Yawaqit wa al-Jawahir juz 2 hlm. 57, Mujaz al-Kalam hlm. 40-41.
[14] An-Nafahat asy-Syadziliyyah hlm.50.
[15] Majmu' Fatawi wa Rasail hal. 165

Kisah Hikmah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar