Rabu, 02 Februari 2011

Mana Yang Kau Cari – Penampilan Atau Realitas?

Abdal: Pemimpin Kafilah Ruhani menuju Allah

Dalam kafilah ruhani yang berjalan menuju Tuhan, kita melihat barisan yang panjang. Mereka yang berada dalam barisan mempunyai martabat yang bermacam-macam, bergantung pada sejauh mana mereka telah berjalan. Dari tempat berangkat ke tujuan, ada sejumlah stasiun yang harus mereka lewati. Derajat mereka juga bergantung pada banyaknya stasiun yang sudah mereka singgahi. Pada setiap stasiun selalu ada pengalaman baru, keadaan baru, dan pemandangan baru. angat sulit menceritakan pengalaman pada stasiun tertentu kepada mereka yang belum mencapai stasiun itu.
Dalam literatur tasawuf, stasiun itu disebut manzilah atau maqam. Pengalaman ruhani yang mereka rasakan disebut hal. Ada segelintir orang yang sudah mendekati stasiun terakhir. Mereka sudah sangat dekat dengan Tuhan, tujuan terakhir perja1anan mereka. Maqam mereka sangat tinggi di sisi Tuhan. Kelompok mereka disebut awliya’, kekasih-kekasih Tuhan. Mereka telah dipenuhi cahaya Tuhan. Sekiranya kita menemukan mereka, kita akan berteriak seperti teriakan orang munafik pada Hari Akhir, “Tengoklah kami (sebentar saja) agar kami dapat memperoleh seberkas cahayamu” (QS 57:13).


Dalam kelompok awliya’ juga terdapat derajat yang bermacam- macam. Yang paling rendah di antara mereka (tentu saja di antara orang-orang yang tinggi) disebut awtad, tiang-tiang pancang. Disebut demikian karena merekalah tiang-tiang yang menyangga kesejahteraan manusia di bumi, kerena kehadiran merekalah Tuhan menahan murka-Nya; Tuhan tidak menjatuhkan azab yang membinasakan umat manusia. lbnu Umar meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah menolak bencana –karena kehadiran Muslim yang saleh– dari seratus keluarga tetangganya.” Kemudian ia membaca firman Allah, “Sekiranya Allah tidak menolakkan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya sudah hancurlah bumi ini” (QS 2: 251).
Penghulu para awliya’ adalah quthb rabbani. Di antara quthb dan awtad ada abdal (artinya, para pengganti). Disebut demikian, kerena bila salah seorang di antara mereka meningggal, Allah menggantikannya dengan yang baru. “Bumi tidak pernah sepi dari mereka,” ujar Rasulullah Saw., “Karena merekalah manusia mendapat curahan hujan, karena merekalah manusia ditolong” (Al-Durr Al-Mantsur, 1:765).
Abu Nu’aim dalam Hilyat Al-Awliya’ meriwayatkan sabda Nabi Saw., “Karena merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, dan menolak bencana.” Sabda ini terdengar begitu berat sehingga lbnu Mas’ud bertanya, “Apa maksud karena merekalah Allah menghidupkan dan mematikan?”‘ Rasulullah Saw. bersabda, “Karena mereka berdoa kepada Allah supaya umat diperbanyak, maka Allah memperbanyak mereka. Mereka memohon agar para tiran dibinasakan, maka Allah binasakan mereka. Mereka berdoa agar turun hujan, maka Allah turunkan hujan. Karena permohonan mereka, Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Karena doa mereka, Allah menolakkan berbagai bencana.” Allah sebarkan mereka di muka bumi. Pada setiap bagian bumi, ada mereka. Kebanyakan orang tidak mengenal mereka. Jarang manusia menyampaikan terimakasih khusus kepada mereka.
Kata Rasulullah Saw., “Mereka tidak mencapai kedudukan yang mulia itu karena banyak shalat atau banyak puasa.” Sangat mengherankan; bukanah untuk menjadi awliya’, kita harus menjalankan berbagai riyadhah atau suluk, yang tidak lain daripada sejumlah zikr, doa, dan ibadah-ibadah lainnya? Seperti kita semua, para sahabat heran. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, fima adrakuha?” Beliau bersabda, “Bissakhai wan-Nashihati lil muslimin” (Dengan kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada kaum Muslim). Dalam hadis lain, Nabi berkata, “Bishidqil wara’, wa husnin niyyati, wa salamatil qalbi, wan-Nashihati li jami’il muslimin” (Dengan ketaatan yang tulus, kebaikan niat, kebersihan hati, dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim) (lihat Al-Durr Al-Mantsur, 1:767).
Jadi, yang mempercepat orang mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah Swt. bukanlah frekuensi shalat dan puasa. Bukankah semua ibadah itu hanyalah ungkapan rasa syukur kita kepada Allah, yang seringkali jauh lebih sedikit dari anugerah Allah kepada kita?
Yang sangat cepat mendekatkan diri kepada Allah, pertama, adalah al-sakha (kedermawanan). Berjalan menuju Allah berarti meninggalkan rumah kita yang sempit –keakuan kita. Keakuan ini tampak dengan jelas pada “aku” sebagai pusat perhatian. Seluruh gerak kita ditujukan untuk “aku”. Kebahagian diukur dari sejauh mana sesuatu menjadi “milikku.” Orang yang dermawan adalah orang yang telah meninggalkan “aku.” Ia sudah bergeser ke falsafah “Untuk Dia”.
Karena itu Nabi Saw. bersabda, “Orang dermawan dekat dengan manusia, dekat dengan Tuhan dan dekat dengan surga. Orang bakhil jauh dari manusia, jauh dari Tuhan dan dekat dengan neraka”. Tanpa kedermawanan, shalat, shaum, haji dan ibadah apa pun tidak akan membawa orang dekat dengan Tuhan. Dengan kebakhilan, makin banyak orang melakukan ibadat makin jauh dia dari Tuhan. Orang dermawan sudah lama masuk dalam cahaya Tuhan, sebelum mereka masuk ke surganya. Kedermawanan telah membawanya dengan cepat ke stasiun-stasiun terakhir dalam perjalanannya menuju Tuhan.
Kedua, yang mengantarkan orang sampai kepada kedudukan abdal, adalah kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim. Kesetiaan yang tulus ditampakkan pada upaya untuk menjaga diri dari perbuatan yang merendahkan, menghinakan, mencemooh atau memfitnah sesama Muslim. Di depan Ka’bah yang suci, Nabi Saw. berkata, “Engkau sangat mulia. Tetapi disisi Allah lebih mulia lagi kehormatan kaum Muslim. Haram kehormatan Muslim dirusakkan. Haram darahnya ditumpahkan.”
Belum dinyatakan setia kepada Islam sebelum orang meninggalkan keakuannya. Banyak orang merasa berjuang untuk Islam, walaupun yang diperjuangkan adalah kepentingan akunya, kepentingan kelompoknya, kepentingan golongannya. Mereka memandang golongan yang lain harus disingkirkan, karena pahamnya tidak menyenangkan paham mereka. Mereka hanya mau menyumbang bila proyek itu dijalankan oleh golongannya. Mereka hanya mau mendengarkan pengajian bila pengajian itu diorganisasi atau dibimbing oleh orang-orang dari kelompoknya. Apa pun yang diperjuangkan tidak pernah bergeser dari keakuannya. Ia merasa Islam menang apabila kelompoknya menang. Ia merasa Islam terancam bila kepentingan golongannya terancam. Ia telah beragama, ia telah mukmin; tetapi agamanya masih berkutat dalam keakuannya.
An-nashihat lil muslimin (kesetiaan yang tulus kepada kaum Muslim) melepaskan keakuan seorang mukmin. Ia memberinya kejujuran dalam ketaatan, ketulusan niat, dan kebersihan hati. Ia juga yang mengantarkannya kepada kedudukan tinggi di sisi Allah. Karena kedermawanan dan kecintaan kepada kaum Muslim, Anda juga dapat menjadi kekasih Tuhan.
Wahai hamba-hamba Allah, berangkatlah kalian menuju Tuhanmu. Percepatlah perjalanan kalian dengan kedermawanan dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim.[]
(Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban, Bandung, Mizan, 1995, h. 168-171)

Penampilan Atau Realitas?


Uwais al-Qarni berdiri sendirian di padang pasir, bersandar pada seorang pembantunya. Ia bertemu Nabi tidak dalam bentuk lahiriah; namun ia tahu rahasia para Sahabat. Dan tidak satu pun menolak bahwa dirinya adalah seorang Sufi; semoga Allah menyucikan kegaibannya!
Dzun-Nun al-Mishri bicara berbelit-belit, dan mengajar dengan tulisan Mesir kuno. Dan tidak satu pun menyangkal bahwa ia guru kita.
Al-Hallaj dan Suhrawardi, dibunuh atas keputusan pengadilan karena mengatakan hal-hal yang tidak populer di zaman kami; keduanya guru kami.
Guru kita Bahauddin dari Bukhara tanpa kata-kata berkomunikasi dengan hati kita. Namun ia bicara sejujur yang pernah dibicarakan orang.
Ahmad ar-Rifai yang didatangkan, untuk dirinya dan penerusnya, nama pembual, dan orang yang berperilaku yang bukan-bukan. Secara rahasia ia dipersatukan dengan kita.
Orang berpikir bahwa Jalaluddin dan Fariduddin Aththar hanyalah penyair.
Hafizh membicarakan Anggur, Ibnu al-Arabi tentang Perempuan, al-Ghazali tampaknya berbicara dengan kiasan.
Tidak satu pun menyangkal bahwa mereka adalah satu.
Semuanya ikut serta dalam tugas suci kita.
Syabistari berbicara tentang kemusyrikan; Maulana Chisyti mendengarkan musik; Khwaja Anshar seorang pemimpin religius. Khayyam, Abi al-Khair dan ar-Rumi menolak bentuk religius.
Tetapi tidak satu pun menolak diantara Orang-orang di Jalan bahwa semuanya adalah satu.
Yusuf Qalandar berkelana ke muka bumi.
Syeikh Syattar mengubah manusia dalam sekejap.
Ali al-Hujwiri dipandang hanya sebagai juru penerang.
Semuanya, sebagai satu, ikut serta pada tugas suci kita.
Abdul Qadir al-Jilani dari Persia, dan Salman serta Sa’di; Abu Bakr dari Arab, Nuri dan Ja’fari; Baba Farid, Ibnu Adham dari Afghan; Jami’ dari Khurasan, Bektash dari Turki, Nizamuddin dari India, Yusuf dari Andalusia.
Semuanya, sebagai satu, ikut serta pada kerja suci kita.
Pikiran-pikiran dangkal bertanya, bagaimana perilaku kaum Sufi, yang menandai mereka sebagai Guru kita? Apa bentuk Latihan yang mungkin kita banggakan? Jalan apa yang akan membuat Jalan sesuai untukku? Tempat apa yang melahirkan Guru? Kebiasaan dan jaminan apa yang membawa manusia menuju Kebenaran?
Hentikan, engkau bodoh! Sebelum terlambat — putuskan: apakah engkau ingin mempelajari penampilan, atau Realitas?
(Nawab Jan-Fishari Khan)

Jalan Kaum Sufi

Sufisme adalah ajaran sebaik persaudaraan kaum Sufi, orang-orang mistis yang berbagi keyakinan bahwa pengalaman batiniah bukanlah bagian dari kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri. Sufi berarti “cinta”.
Pada pencapaian lebih rendah, para anggota diorganisir ke suatu lingkaran dan pondok-pondok. Bentuk yang lebih tinggi — sakinah (kedamaian), mereka melambung bersama dengan barakah (berkah, kekuatan, kesucian) dan interaksi mereka dengan kekuatan ini berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Sufisme adalah jalan hidup, diyakini oleh anggota sebagai esensi dan realitas semua ajaran religius dan filosofis. Ajaran ini membimbing ke penyelesaian kaum laki-laki dan kaum perempuan, melalui institusi murid, meditasi dan praktek. Berikutnya adalah “realitas hidup”.
Kebijakan atau penyelesaian, menurut kaum Sufi, dibedakan dari intelektualisme, keakademisan dan sebagainya, yang sekadar sebagai alat. Jalan, mengajarkan sampai tingkat mana alat ini dapat digunakan; dan juga bagaimana menggabungkan tindakan dengan takdir.
“Sufisme,” kata guru, “adalah jalan yang diambil kaum Sufi dalam kehidupan dan pekerjaan nyata mereka sesuai bentuk yang berbeda dengan bentuk lain; yang menuntun mereka ke perkembangan mental, fisik dan kekuatan metafisik yang penuh. Awalnya mereka diorganisir ke dalam kelompok di bawah bimbingan seorang Pembimbing (guru) sampai hubungan pengabadian diri ditegakkan.”
“Hubungan persahabatan disebut Persaudaraan, Aliran, dan Cara atau Jalan. Mungkin pula disebut Bangunan, sebagai analogi atas sesuatu yang dibangun oleh perkumpulan anggota. Guru disebut Syeikh, Orang Bijak,Yang Lebih Tahu, Pemimpin, Kuno atau Pengarah. Murid disebut Yang Diarahkan, Penggemar, Pecinta atau Calon.”
“Pondok disebut biara, kuil, pertapaan dan sebagainya, yang mungkin memiliki bentuk fisik, mungkin pula tidak.”
Tambahan pula sistem metafisikal saling dihubungkan dengan kehidupan biasa, Sufisme mempertahankan bahwa anggota-anggotanya akan unggul dalam pekerjaan terpilih mereka.
Sufisme adalah ajaran, tidak dengan metode membosankan seperti catatan buku atau ajaran “A sampai Z”. Akhirnya, ketika hubungan sudah cukup mantap, engkau melanjutkan pelajarannya sendiri, dan menjadi “Pribadi Sempurna”. (Al-Insan al-Kamil)
Sufisme tidak dikhotbahkan, dan bahkan diajarkan pada beberapa kasus dengan contoh dan bimbingan yang mungkin tidak diketahui oleh murid fakultas biasa.(Zhalim Abdurrahman)

Kebenaran Itu Sendiri

Ketika Sufi berkata, “Ini sendiri merupakan kebenaran,” ia mengatakan, “Karena saat ini dan orang ini dan tujuan ini, kita harus memusatkan perhatian kita seolah kebenaran itu sendiri.”
Dalam melakukan ini, Sufi membantumu dengan mengajari engkau, seyakin seperti yang dikatakan guru sekolah, “Ini A dan ini B, ini sendiri adalah kebenaran selama masa kita mempelajarinya.
Dengan cara ini orang belajar kemampuan membaca dan menulis. Dengan cara ini orang mempelajari wujud benda yang sebenarnya (metafisika).
Namun orang-orang tanpa pemahaman yang peka sering menyerang Sufi karena berperilaku demikian, karena mereka sendiri kurang sabar dan kurang bekerjasama. Bila engkau tidak memberi kesempatan kepada seseorang untuk mengerjakan tugas ini, maka engkau dapat menuduhnya terlalu berdedikasi.
Ingat, jika anjing menggonggong dan suaranya mengganggumu, bisa jadi itu tanda bahaya darinya — kalau engkau menganggap anjing itu menggonggong kepadamu. Engkau sudah salah paham terhadapnya.
(Hakim Tahirjan dari Kafkaz)

Kalau Aku Mati

Sekarang, kalau aku mati, mungkin engkau membaca suatu kebenaran tentang Sufi. Sudahkah informasi ini diberikan kepadamu, langsung atau tidak langsung, saat aku berada diantara kalian, kalian semua, menerima sedikit, menyuburkan ketamakan dan mencintai keajaibannya sendiri.
Maka ketahuilah, bahwa apa yang dilakukan guru Sufi untuk dunia dan masyarakatnya, besar dan kecil, sering tidak terlihat oleh para peneliti.
Seorang guru Sufi menggunakan kekuatannya untuk mengajar, mengobati, membuat manusia bahagia dan sebagainya, sesuai pertimbangan paling baik dalam menggunakan kekuatan. Jika ia tidak menunjukkan keajaiban padamu, bukan berarti ia tidak dapat melakukannya. Jika ia kurang menguntungkan dirimu dengan cara yang engkau harapkan, bukan berarti ia tidak mampu. Ia menguntungkan dirimu sesuai dengan kebutuhanmu, kelayakanmu, bukan menjawab tuntutanmu. Ia mempunyai tugas yang lebih tinggi; inilah apa yang ia penuhi.
Banyak diantara kalian sudah merubah hidupmu, diselamatkan dari berbagai risiko, diberi banyak kesempatan — tidak satu pun dari kalian mengenalinya sebagai sebuah manfaat. Namun demikian, engkau memiliki manfaat ini.
Banyak dari kalian, kendati tengah mencari kehidupan yang lebih utuh, sama sekali tidak akan memiliki kehidupan bila tidak berusaha untuk Komunitas Sahabat. Banyak dari kalian yang miskin, akan dikutuk seandainya kaya. Banyak diantara kalian tetap kaya, karena adanya Manusia Bijak. Banyak diantara kalian yang ada di sekolahku berpikir bahwa kalian sudah kuajari. Kenyataannya, engkau hadir secara fisik dalam pertemuan-pertemuan kalian, sementara pikiran kalian ada di pertemuan lainnya.
Semua ini begitu asing bagi kebiasaan pemikiran kalian, bahwa engkau belum siap dalam posisi mengenalinya.
Tugasku adalah memberi manfaat. Tugas untuk membuat manfaat tersebut dapat engkau mengerti, adalah tugas orang lain.
Tragedimu adalah, sementara menungguku bersedia memberimu keajaiban dan membuat perubahan yang dapat dimengerti untukmu, engkau telah menciptakan keajaiban yang tidak kulakukan, dan membangun kesetiaan padaku, yang sama sekali tidak berarti. Dan engkau membayangkan “perubahan” dan “bantuan” dan “pelajaran” yang tidak terjadi (berlangsung). “Perubahan”, “bantuan”, “pelajaran”, bagaimanapun ada di sana. Sekarang temukan apa sebenarnya itu semua. Jika engkau terus berpikir dan melakukan apa yang sudah aku katakan, engkau bekerja dengan materi-materi kemarin, yang sudah digunakan.
(Mirza Abdul Hadi Khan dari Bukhara)

Berkah

Engkau yang berbicara tentang Berkah, mungkin musuh dari Berkah itu sendiri. Laki-laki maupun perempuan seharusnya menjadi musuh dari apa yang ingin ia cintai yang melekat dalam diri manusia — tetapi hanya beberapa jenis manusia.
Dalam bahasa biasa, Berkah adalah sesuatu, yang melalui pengaruh keilahian, menyelamatkan manusia. Ini kebenaran; tetapi selamat hanya untuk sebuah tujuan. Lagi, dalam pembicaraan biasa, masyarakat berusaha memanfaatkan Berkah untuk memberi mereka sesuatu. Ini keserakahan yang samar. Orang-orang yang bertakhayul meminta Berkah dari makam orang suci. Memang ada, tetapi apa yang mereka dapatkan bukan Berkah, kecuali kalau tujuannya benar. Berkah melekat pada sesuatu seperti halnya pada masyarakat, tetapi hanya diberikan kepada yang layak. Karena tujuan praktis Berkah, sama sekali tidak ada di sana.
Ketika tidak ada Berkah sejati, dari kehausan manusia seperti itu, maka emosionalitasnya dianggap berasal dari harapan dan ketakutannya terhadap kebaikan Berkah. Jadi ia akan merasa bangga, kesedihan, emosi yang kuat, dan menyebutnya Berkah. Sesuatu yang sangat mudah dianggap sebagai Berkah adalah: suatu perasaan yang didapatkan manusia dari sesuatu yang aman, dikenal, menggetarkan.
Tetapi hanya kaum Sufi yang memiliki Berkah sejati. Mereka adalah salurannya, sebagaimana mawar sebagai saluran aroma wewangiannya. Mereka dapat memberimu Berkah, tetapi hanya jika engkau setia pada mereka, yang artinya setia terhadap apa yang mereka wakili.
Jika engkau mencari Berkah, temanku, carilah Sufi. Jika ia tampak brutal, berarti ia berterus terang, dan itulah takdir Berkahnya. Jika engkau ingin membayangkan, engkau akan sering-sering berada di dekat mereka yang tampak olehmu memberi jaminan dan pengangkatan depresi. Ambillah ini jika memang engkau perlu. Tetapi jangan sebut Berkah. Untuk mendapatkan Berkah, engkau harus memberi apa yang engkau miliki terus-menerus, sebelum engkau dapat menerima. Menerima sebelum engkau memberi adalah ilusi dan pikiran dosa. Bila engkau sudah memberi — beri lagi, sepenuh jiwa.
(Syeikh Syamsuddin Siwasi)

Belajar

Masyarakat cenderung ingin belajar dengan guru-guru terkenal. Namun selalu ada orang-orang yang tidak dihargai masyarakat, yang sebenarnya dapat mengajari mereka dengan efektif. (Al-Ghazali)
Seorang guru dengan sedikit pengikut, atau sama sekali tidak ada pengikutnya, mungkin orang yang tepat untukmu. Sesuai dengan sifatnya, sedikit semut tidak akan berkerumun untuk melihat gajah, dengan harapan memperoleh keuntungan. Seorang guru terkenal barangkali hanya bermanfaat untuk Para sarjana (tingkat) lanjutan. (Badakhsyani)
Bila seorang guru yang sangat terpercaya mengatakan kepadamu untuk belajar di bawah seseorang yang tampaknya kurang terkenal, ia tahu apa kebutuhanmu. Banyak murid merasa diremehkan dengan saran seperti ini, padahal sesungguhnya demi kemajuan mereka. (Abdurrahman dari Bengal)
Telah kupelajari apa yang kupelajari hanya setelah guruku membebaskan diriku dari kebiasaan mendekatkan diri terhadap yang aku hargai sebagai guru dan pelajaran. Kadang aku tidak harus berbuat apa-apa sama sekali untuk waktu yang lama. Kadang aku harus mempelajari sesuatu yang tidak dapat kuhubungkan dengan pemikiranku, tidak peduli aku mencoba, dengan cita-cita lebih tinggi. (Zikiria ibnu al-Yusufi)
Mereka yang tertarik oleh sisi luar, yang mencari tanda-tanda lahiriah seorang guru, yang menyandarkan diri pada emosi didalam mempelajari atau membaca buku yang mereka pilih — mereka adalah lalat kolam Tradisi; mereka melompat dan meluncur di atas permukaan. Karena mereka memiliki kata-kata “dalam” dan “penting”, mereka mengira, dengan tidak benar, bahwa mereka mengetahui pengalaman-pengalaman tersebut. Inilah mengapa kita mengatakan, untuk tujuan-tujuan praktis, bahwa mereka tidak tahu apa pun. (Thalib Syamsi Ardabili)
Berhatilah-hatilah jangan salah mencerna sesuatu yang lain. Engkau boleh mengunjungi orang besar atau membaca bukunya, dan kau boleh merasa tertarik atau memusuhi. Seringkali hanya dicerna di kalangan murid. (Musthafa Qalibi dari Antioch)
Jika memulai jalan sekali lagi, permintaanku adalah, “Ajari aku bagaimana belajar dan apa yang dipelajari?” Dan, bahkan sebelumnya, “Biarkan aku benar-benar mengharapkan belajar bagaimana caranya belajar, sebagai cita-cita yang benar, bukan semata-mata dalam tuntutan diri sendiri.” (Khwaja Ali Ramitani, menunjuk delegasi Yamani)

Delapan Sifat Kaum Sufi



Dalam ajaran Sufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Sufi memiliki:
Kemurahan hati seperti Ibrahim a.s.;
Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail a.s.;
Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya’kub a.s.;
Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria a.s.;
Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya a.s.;
Jubah wool seperti mantel gembala Musa a.s.;
Pengembaraan, seperti perjalanan Isa a.s.;
Kerendah-hatian, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad saw.

Membaca Filosofi Sufi

Membaca sesuatu dan segala sesuatu dalam Sufisme seperti membaca segala macam buku dengan subyek berbeda tanpa dasar yang penting. Suatu malapetaka, seperti halnya pengobatan secara serampangan, mungkin membuat manusia malah lebih buruk daripada sebelum membacanya.
Tulisan-tulisan Sufi senantiasa ditujukan untuk pengunjung khusus. Pengunjung ini tidak sama di Bukhara dengan di Basrah, di Spanyol dan di Afrika.
Namun nilai kumpulan pelajaran khusus dari bacaan-bacaan Sufi yang dibuat seorang Sufi tidak dapat dilebih-lebihkan.
Nilai-nilai tersebut termasuk:
Pilihan bagian-bagian yang akan membantu komunitas menemukan jalannya.
Persiapan murid, untuk pencerahan yang diberikan guru secara pribadi bila waktunya siap;
Suatu perbaikan terhadap pengulangan-pengulangan doktrin dan praktek biasa yang membosankan, yang pudar tanpa diketahui.
Suatu perbaikan terhadap kegembiraan yang kita alami setiap hari, dan yang memanipulasi kita tanpa kita ketahui.
Oleh karena itu, bacalah, apa yang sudah disiapkan untukmu, sehingga engkau memperoleh berkah dari kebahagiaan abadi.
(Hadrat Bahauddin Naqsyabandi)

Kisah Hikmah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar