Senin, 07 Februari 2011

IMAM AL-GHAZALI

Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Tusi al-Shafi'i al-Ghazali lahir tahun 1058 A.D. di Khorasan, Iran. Ayahnya meninggal pada saat dia masih sangat muda, namun dia mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan di sekolah dengan kurikulum yang bagus di Nishapur dan Baghdad. Segera setelah itu, dia menerima penghargaan di bidang agama dan filsafat dan ditunjuk sebagai professor pada Universitas Nizamiyah di Baghdad, yang terkenal sebagai institusi pendidikan yang bergengsi pada jaman keemasan sejarah Islam.

Beberapa tahun kemudian, dia berhenti dari kehidupan di dunia universitas dan hidup keduniaan, lalu mencari kehidupan zuhud. Saat ini merupakan masa transformasi mistis bagi Al-Ghazali. Kemudian, dia mulai tugasnya lagi sebagai pengajar, namun kemudian ditinggalkan lagi. Sebuah kehidupan menyendiri, yang dikonsentrasikan pada kontemplasi dan menulis dia lakukan, yang menghasilkan beberapa karya yang monumental. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 1128 A.D.

Karya Ghazali yang utama pada bidang agama, filsafat, dan sufi. Beberapa filsuf Muslim mengikuti dan mengembangkan beberapa pandangan yang berasal dari filsafat Yunani, termasuk filsafat Neoplatonis, yang berakibat benturan dengan ajaran Islam. Di lain pihak, gerakan sufi kadang dipandang terlalu berlebihan, seperti misalnya tidak menjalankan kewajiban shalat dan kewajiban yang lainnya dalam Islam. Berdasarkan kepada reputasi keahliannya dalam bidang agama dan pengalaman mistis, Ghazali mencoba mengawinkan kecenderungan ini, baik dari segi filsafat maupun sufi.

Dalam bidang filsafat, Ghazali percaya bahwa pendekatan matematika dan ilmu pasti adalah benar. Namun, beliau menggunakan logika Aristotelian dan prosedur Neoplatonis, serta menggunakan keduanya untuk mengungkap kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam filsafat Neoplatonis dan untuk menghilangkan pengaruh negatif dari Aristotelianisme dan rasionalisme yang berlebihan. Sebagai kontras dengan beberapa filsuf Islam lainnya, misalnya, Farabi, dia menggambarkan ketidakmampuan akal untuk mencerna yang mutlak dan tak terhingga. Akal tidak mampu mentransformasikan segala yang terhingga dan terbatas menjadi suatu pengamatan yang relatif. Demikian pula, beberapa filsuf Islam berpendapat bahwa jagad raya ini terbatas dalam ruang tetapi tak terbatas dalam waktu. Ghazali berpendapat bahwa ketakterhinggaan waktu mempunyai korelasi dengan ketakterhinggaan ruang. Dengan kejernihan dan kekuatan argumennya, dia berhasil menciptakan keseimbangan antara agama dan akal, dan mengidentifikasi kawasannya sebagai tak terhingga dan terhingga.

Dalam agama, terutama dalam bidang mistisme, dia membersihkan pendekatan sufisme yang berlebihan dan memantapkan otoritas agama yang ortodoks. Namun, dia tetap menekankan pentingnya keaslian sufisme, yang dia pelihara adalah jalan untuk menuju kebenaran hakiki.



Dia adalah seorang penulis yang mahir. Buku klasiknya termasuk Tuhafut al-Falasifa, Ihya al-'Ulum al-Islamia, "The Beginning of Guidance and his Autobiography", "Deliverance from Error." Beberapa karyanya diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa Eropa di Abad Pertengahan. Dia juga menulis tentang astronomi.

Pengaruh Ghazali sangat dalam dan lama. Dia adalah salah satu dari ahli agama Islam yang terbesar. Doktrin teologinya menembus Eropa, mempengaruhi baik Yahudi maupun Kristiani dan beberapa argumentasinya tampaknya telah digunakan oleh Thomas Aquinas untuk memantapkan otoritas agama Kristen yang ortodoks di Barat. Begitu kuatnya argumentasi dia dalam keberpihakannya terhadap agama, sehingga dia dituduh sebagai penyebab kemunduran filsafat, dan di kalangan Muslin Spanyol, Ibn Rushd (Averros) menulis bantahan terhadap karyanya Tuhafut al-Falasifa.


Filosuf dan Sufi abad keduabelas, Imam al-Ghazali, mengutip dalam bukunya, Book of Knowledge, ungkapan dari al-Mutanabbi: ” Bagi orang sakit, air manis terasa pahit di mulut.”

Dengan sangat bagus, ungkapan tersebut diambil sebagai motto Imam al-Ghazali. Delapan ratus tahun sebelum Pavlov, ia menjelaskan dan menekankan (acapkali dalam perumpamaan yang menarik, kadang dalam kata-kata ‘modern’ yang mengejutkan) masalah pengondisian.

Kendati Pavlov dan lusinan buku serta laporan studi klinis dalam perilaku manusia sudah dibuat sejak perang Korea, para siswa umum, dihadapkan pada masalah-masalah pemikiran tidak menyadari kekuatan indoktrinasi.” Indoktrinasi, dalam masyarakat totalitarian, merupakan suatu ketetapan yang diinginkan dan selanjutnya menjadi keyakinan masyarakat tersebut. Dalam pengelompokan lain, kehadirannya tidak mungkin ada bahkan dicurigai. Inilah yang membuat hampir setiap orang mudah menyerangnya.

Karya Imam al-Ghazali tidak hanya mendahului zamannya, tetapi juga melampui pengetahuan kontemporer mengenai masalah-masalah tersebut. Pada waktu opini disampaikan secara tertulis, dipisahkan apakah indoktrinasi (jelas maupun terselubung) diinginkan atau sebaliknya, juga apakah mutlak atau tidak.

Imam al-Ghazali tidak hanya menjelaskan apakah orang-orang yang menciptakan kepercayaan, kemungkinan dalam keadaan terobsesi; dengan jelas ia menyatakan, sesuai dengan prinsip-prinsip Sufi, bahwa hal itu bukannya tidak dapat dielakkan mutlak, tetapi menegaskan bahwa hal itu esensial untuk manusia agar dapat mengenalinya.

Buku-bukunya dibakar oleh kaum fanatik Mediteranian dari Spanyol sampai Syria. Sekarang ini memang tidak dilempar kedalam api, tetapi pengaruhnya, kecuali diantara kaum Sufi, mulai melemah; buku-buku tersebut tidak lagi banyak dibaca.

Menurutnya, perbedaan antara opini dan pengetahuan adalah sesuatu yang dapat hilang dengan mudah. Ketika hal ini terjadi, merupakan kewajiban atas mereka yang mengetahui perbedaan tersebut untuk menjelaskannya sebisa mungkin.

Kendati penemuan-penemuan, psikologi dan ilmu pengetahuan Imam al-Ghazali, dihargai secara luas oleh bermacam kalangan akademis, tetapi tidak diperhatikan sebagaimana mestinya, karena ia (al-Ghazali) secara spesifik menyangkal metode ilmiah atau logika sebagai sumber asli atau awal. Ia berada pada pengetahuannya melalui pendidikan Sufismenya, diantara kaum Sufi, dan melalui bentuk pemahaman langsung tentang kebenaran yang sama sekali tidak berhubungan dengan intelektual secara mekanis. Tentu saja, hal ini membuatnya berada di luar lingkaran kalangan ilmuwan. Apa yang lebih menimbulkan penasaran adalah bahwa temuan-temuannya begitu menakjubkan hingga orang akan berpikir, bahwa para penyelidik ingin mengetahui bagaimana dia telah menempuh atau mendapatkannya.

‘Mistisisme’ dijuluki dengan sebutan yang buruk seperti seekor anjing dalam sebuah peribahasa, jika tidak dapat digantung, setidaknya boleh diabaikan. Ini merupakan ukuran pelajaran psikologi: terimalah penemuan seseorang jika engkau tidak dapat menyangkalnya, sebaliknya abaikan metodenya jika tidak mengikuti keyakinanmu akan metode.

Jika Imam al-Ghazali tidak menghasilkan karya yang bermanfaat, secara alamiah ia akan dihargai hanya sebagai ahli mistik, dan membuktikan bahwa mistisisme tidak produktif, secara edukatif maupun sosial.

Pengaruh Imam al-Ghazali pada pemikiran Barat diakui sangat besar dalam semua sisi. Tetapi pengaruh itu sendiri menunjukkan hasil suatu pengondisian; para filosuf Kristen abad pertengahan yang telah banyak mengadopsi gagasan al-Ghazali secara sangat selektif, sepenuhnya mengabaikan bagian-bagian yang telah memperlakukan kegiatan indoktrinasi mereka.

Upaya membawa cara pemikiran al-Ghazali kepada audiens yang lebih luas, daripada kepada Sufi yang terhitung kecil jumlahnya, merupakan perbedaan final antara keyakinan dan obsesi. Ia menekankan peran pendidikan dalam penanaman keyakinan religius, dan mengajak pembacanya untuk mengamati keterlibatan suatu mekanisme. Ia bersikeras pada penjelasan, bahwa mereka yang terpelajar, mungkin saja dan bahkan sering, menjadi bodoh fanatik, dan terobsesi. Ia menegaskan bahwa, disamping mempunyai informasi serta dapat mereproduksinya, terdapat suatu pengetahuan serupa, yang terjadi pada bentuk pemikiran manusia yang lebih tinggi.

Kebiasaan mengacaukan opini dan pengetahuan, adalah kebiasaan yang sering dijumpai setiap hari pada saat ini, Imam al-Ghazali menganggapnya seperti wabah penyakit.

Dalam memandang semua ini, dengan ilustrasi berlimpah serta dalam sebuah atmosfir yang tidak kondusif bagi sikap-sikap ilmiah, Imam al-Ghazali tidak hanya memainkan peranan sebagai seorang ahli diagnosa. Ia telah memperoleh pengetahuannya sendiri dalam sikap Sufistik, dan menyadari bahwa pemahaman lebih tinggi — menjadi seorang Sufi — hanya mungkin bagi orang-orang yang dapat melihat dan menghindari fenomena yang digambarkannya.

Imam al-Ghazali telah menghasilkan sejumlah buku dan menerbitkan banyak ajaran. Kontribusinya terhadap pemikiran manusia dan relevansi gagasan-gagasannya, ratusan tahun kemudian tidak diragukan lagi. Mari kita perbaiki sebagian kelalaian pendahulu-pendahulu kita, dengan melihat apa yang dikatakannya tentang metode. Apakah yang dimaksud dengan ‘Cara al-Ghazali’? Apa yang harus dilakukan seseorang agar menyukainya, orang yang diakui sebagai salah seorang tokoh besar dunia bidang filsafat dan psikologi?

Imam al-Ghazali tentang Tarekat

Seorang manusia bukanlah manusia jika tendensinya meliputi kesenangan diri, ketamakan, amarah dan menyerang orang lain.

Seorang murid harus mengurangi sampai batas minimun, perhatiannya terhadap hal-hal biasa seperti masyarakat dan lingkungannya, karena kapasitas perhatian (sangatlah) terbatas.

Seorang murid haruslah menghargai guru seperti seorang dokter yang tahu cara mengobati pasien. Ia akan melayani gurunya. Kaum Sufi mengajar dengan cara yang tidak diharapkan. Seorang dokter berpengalaman akan menentukan sebuah perlakuan-perlakuan tertentu dengan benar. Kendati pengamat luar mungkin saja sangat terpesona terhadap apa yang ia katakan dan lakukan; ia akan gagal melihat pentingnya atau relevansi prosedur yang diikuti.

Inilah mengapa, tidak mungkin bagi murid dapat mengajukan pertanyaan yang benar pada waktu yang tepat. Tetapi guru tahu apa dan kapan seseorang dapat mengerti.

Perbedaan antara Sosial dan Pemrakarsa Aktikitas

Imam al-Ghazali menekankan pada hubungan dan juga perbedaan antara kontak sosial atau kontak yang bersifat pengalihan dari orang-orang, dan kontak yang lebih tinggi.

Apa yang menghalangi kemajuan individu dan sebuah kelompok orang-orang, dari permulaan yang patut dipuji, adalah proses stabilisasi mereka sendiri terhadap pengulangan (repetisi) dan basis sosial apa yang tersembunyi.

Jika seorang anak, katanya, meminta kita untuk menjelaskan kesenangan yang ada saat memegang kedaulatan tertinggi, kita mungkin mengatakan hal itu seperti kesenangan yang ia rasakan saat olah raga; kendati, kenyataannya keduanya tidak sama, kecuali bahwa keduanya memiliki kategori kesenangan (yang sama).

Perumpamaan Manusia dengan Tujuan Lebih Tinggi


Imam al-Ghazali menghubungkan tradisi dari kehidupan Isa, Ibnu Maryam; Yesus, Putra Maryam.

Suatu ketika Isa melihat orang-orang duduk dengan sedih di dinding pinggir jalan. Ia bertanya, “Apa yang kalian susahkan?” Mereka menjawab, “Kami begini karena rasa takut kami terhadap Neraka.”

Isa pun berlalu, kemudian melihat sejumlah orang berkelompok berdiri sedih di sisi jalan. Ia bertanya, “Apa kesusahan kalian?” Mereka menjawab, “Rindu akan Surga yang membuat kami begini.”

Ia pun melanjutkan perjalanan, sampai pada sekelompok orang untuk yang ketiga kalinya. Mereka tampak seperti orang-orang yang memikul beban, tetapi wajah mereka bersinar bahagia.

Isa bertanya, “Apa yang membuat kalian begini?” dan mereka menjawab, “Jiwa Kebenaran. Kami sudah melihat Realitas, dan hal ini membuat kami terlupa akan tujuan-tujuan yang kurang baik.”

Isa mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai. Pada Hari Perhitungan, mereka inilah orang-orang yang akan berada dalam Kehadiran Tuhan.”

Tiga Fungsi Manusia Sempurna

Manusia Sempurna kaum Sufi mempunyai tiga bentuk hubungan dengan masyarakat. Hal ini berubah-ubah sesuai dengan kondisi masyarakat.

Tiga sikap yang dijalankan sesuai dengan:
Bentuk keyakinan orang yang ada di sekitar Sufi;
Kemampuan murid, yang diajar sesuai dengan kemampuan mereka untuk mengerti;
Suatu Lingkaran khusus masyarakat, yang akan berbagi pemahaman pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman batiniah, secara langsung.
Daya Tarik Selebritis

Seseorang yang terbebas dari bahaya singa buas, bukanlah tujuan, apakah jasa ini dilakukan oleh individu yang tidak terkenal atau termasyhur. Oleh karena itu, mengapa mencari pengetahuan dari selebritis?

Sifat Dasar Pengetahuan Ilahiah

Pertanyaan tentang pengetahuan Ilahiah begitu dalam, hingga hanya dimengerti dengan benar-benar oleh mereka yang memilikinya.

Seorang anak tidak mempunyai pengetahuan yang sebenarnya tentang pencapaian orang dewasa. Orang dewasa awam tidak dapat memahami pencapaian orang terpelajar. Dalam cara yang sama, orang terpelajar belum (tentu) dapat memahami pengalaman pencerahan orang-orang suci atau kaum Sufi.

Cinta dan Ketertarikan Diri

Jika seseorang mencintai orang lain karena memberinya kesenangan, seharusnya ia tidak menganggap bahwa ia mencintai orang tersebut sama sekali. Cinta, pada kenyatannya adalah, kendati hal ini tidak disadari, ditujukan pada kesenangan. Sumber kesenangan merupakan sasaran perhatian sekunder, dan hal itu dirasakan hanya karena persepsi mengenai kesenangan tidak cukup baik dikembangkan untuk mengenali dan menggambarkan perasaan yang sebenarnya.

Anda Harus Siap

Anda harus menyiapkan diri sendiri, untuk transisi dimana di sana tidak ada satu pun yang Anda sendiri telah terbiasa, kata Imam al-Ghazali. Setelah meninggal dunia, identitas Anda akan merespon untuk merangsang sesuatu yang pernah ia rasakan sebelumnya. Jika Anda tetap terikat dengan sesuatu yang sudah Anda kenal; hal itu hanya akan membuat Anda menderita.

Kebodohan

Manusia menentang sesuatu, karena mereka tidak mengetahuinya.

Upacara Musik dan Gerak

Pertemuan-pertemuan serupa itu harus diadakan sesuai dengan persyaratan waktu dan tempat. Para penonton yang tidak layak akan dikeluarkan. Para partisipan harus duduk tenang dan tidak saling pandang. Mereka mencari apa yang mungkin muncul dari ‘hati’ mereka sendiri.

Perempuan Mandul

Seorang laki-laki pergi ke dokter dengan istrinya, dan berkata bahwa istrinya tidak memberinya anak. Dokter memandang perempuan tersebut, memegang nadinya, dan mengatakan:

“Saya tidak dapat menangani kemandulan, karena saya telah mengetahui bahwa Anda dalam satu hal akan mati dalam empatpuluh hari.”

Ketika mendengar ini, perempuan tersebut sangat khawatir hingga tidak dapat memakan apa pun selama menjelang empatpuluh hari tersebut.

Tetapi ternyata ia tidak meninggal seperti pada waktu yang telah diprediksikan.

“Ya, saya sudah tahu. Sekarang ia akan menjadi subur.”

Sang suami menanyakan Bagaimana hal itu bisa terjadi.

Dijelaskan oleh sang dokter:

“Isterimu terlalu gemuk, dan ini mempengaruhi kesuburannya. Saya tahu, satu-satunya hal yang dapat membuatnya jauh dari makanan adalah ketakutan terhadap kematian. Sekarang ia sudah sembuh.”

Persoalan tentang pengetahuan merupakan salah satu hal yang berbahaya.

Tarian

Seorang murid meminta izin ikut bagian dalam ‘tarian’ kaum Sufi. Dijawab oleh Syeikh, “Puasalah selama tiga hari, kemudian masak hidangan yang lezat. Jika kemudian engkau lebih suka ‘menari’, kau boleh bergabung.”

Kualitas Harus Mempunyai Sarana

Kecepatan, akan menjadi berguna jika didapatkan dalam seekor kuda, karena kecepatan sendiri tidak memiliki kemanfatan.

Diri yang Idiot

Jika Anda tidak dapat menemukan contoh dedikasi yang tepat pada diri seseorang, pelajarilah kehidupan kaum Sufi. Seseorang juga harus berkata pada diri sendiri, “Wahai jiwaku! Kau kira dirimu pintar dan marah jika disebut idiot. Tetapi siapa sebenarnya dirimu pada kenyataannya? Engkau buat baju untuk musim dingin, tetapi tidak menyediakan untuk kehidupan lain. Engkau seperti orang di tengah-tengah salju yang mengatakan, ‘Seharusnya aku tidak mengenakan baju hangat, sebaliknya percaya pada Kemurahan Tuhan untuk melindungiku dari kedinginan’.” Ia tidak menyadari bahwa, di samping penciptaan dingin, Tuhan telah meletakkan di hadapan manusia alat untuk melindungi diri sendiri.

Manusia Diciptakan untuk Belajar

Unta lebih kuat daripada manusia; gajah lebih besar; singa lebih berani; sapi dapat makan lebih banyak daripada manusia; burung lebih jantan. Tujuan manusia diciptakan adalah untuk belajar.

Nilai Pengetahuan

“Tentu saja terdapat nilai pada pengetahuan. Diberikan hanya kepada mereka yang dapat menjaga dan tidak menghilangkannya.” –(Book of Knowledge, mengutip Ikriniah)

Komentar Junubi:

“Pengetahuan ini tentu saja pengetahuan Sufi. Sama sekali tidak merujuk buku pengetahuan, sesuatu yang dapat ditulis atau dilestarikan dalam bentuk faktual; karena materi tersebut tidak dapat dihilangkan dengan menjelaskanya kepada seseorang yang mungkin saja gagal memanfaatkannya. Merupakan pengetahuan yang diberikan pada waktu dan cara yang teruji, serta menyajikan buku pengetahuan. ‘Memberi pengetahuan yang akan hilang’, merujuk pada ‘kondisi’ tertentu tentang penghargaan terhadap kebenaran yang timbul pada diri individu, sebelum orang tersebut dalam kondisi mempertahankan keadaan tersebut, oleh sebab itu ia kehilangan manfaatnya dan musnah.”

Komentar Ahmad Minai:

“Karena sulitnya memahami fakta ini, dan berkait dengan kemalasan yang dapat dimengerti, kaum cendekiawan memutuskan untuk ‘menghapus’ beberapa ajaran yang tidak dapat dimasukkan dalam buku. Tetapi bukan berarti tidak ada. Hanya saja membuatnya lebih sulit untuk ditemukan dan diajarkan, karena orang-orang tersebut di atas (intelektual) telah melatih masyarakat untuk tidak mencarinya.”

Kemilikan

Anda hanya memiliki apa yang tidak akan hilang dalam sebuah kapal yang pecah.

Untung dan Rugi

Saya ingin tahu, apa yang diperoleh seseorang yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan, dan apa yang tidak diperoleh orang terpelajar.

sumber:
Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma’rifat oleh Idries Shah Judul asli: The Way of the Sufi, Penterjemah Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Sya’ban 1420H, November 1999 Jln. Ikan Mungging XIII/1, Surabaya 60177 Telp.(031) 3539440 Fax.(031) 3529800

AL-GHAZALI DARI PERSIA
Kata-kata yang digunakan untuk menunjuk”keadaan” Sufisme hanyalah perkiraan-perkiraan.
(Kalabadzi)

Selama orang-orang Normandia melakukan konsolidasi kekuasaannya di Inggris dan Sicilia, dan selama aliran pengetahuan Arab ke Barat terus meningkat melalui Arab Spanyol dan Italia, saat ini kekuasaan Islam telah berlangsung tak kurang dari lima ratus tahun lamanya. Puncak keilmuan yang tak seimbang –yang fungsi-fungsinya telah dilarang oleh hukum agama, tetapi dalam kenyataan memiliki kekuatan yang besar– berupaya untuk mencoba mendamaikan metode filsafat Yunani Kuno (Greek) dengan al-Qur’an dan Sunnah-sunnah Nabi saw. serta menerima Skolastisisme sebagai metode untuk menafsir agama. Para ahli dialektika belum mampu menemukan diri mereka untuk mendemonstrasikan kebenaran dan kepercayaan-kepercayaan mereka dengan makna-makna intelektual. Masyarakat lewat sirkulasi pengetahuan telah tumbuh melampaui dialektika formal. Kondisi ekonomi yang sangat baik telah menghasilkan intelektualitas yang luas, melampaui kebutuhan terhadap jaminan-jaminan dogmatik. Atau melampaui pernyataan bahwa, “negara harus benar”. Islam telah menjadi negara. Islam tampak seperti akan jatuh berkeping-keping.

Seorang pemuda Persia, negeri permadani, yang dikenal dengan Muhammad al-Ghazali (seorang pemintal benang), hidup yatim sejak masih kecil dan dididik sebagai Sufi di sebuah universitas di Asia Tengah yang ada saat itu. Ia ditakdirkan untuk memperoleh dua hal yang luar biasa, sebagai akibat dari dimana dua agama, Islam dan Kristen menghasilkan beberapa karakteristik yang hingga kini tetap dimiliki.



Islam ortodoks telah menentang Sufisme yang dianggap mencoba mengabaikan hukum dan menggantikannya dengan “pengalaman personal” mengenai makna agama yang sebenarnya. Hal itu dianggapnya sebuah idea sangat bid’ah. Tetapi Muhammad al-Ghazali benar-benar telah menjadi seorang yang mampu mendamaikan Islam dengan intelektualisme dan memperbaiki kepercayaan-kepercayaan pokok Asy’ariyah serta membentuk diktum-diktumnya sebagai kepercayaan Islam universal, sebagaimana dikatakan oleh Profesor Hitti. Betapa suksesnya pembuat bid’ah ini dalam proses menjadi penemu kebenaran bagi ‘gereja’ Muslim, hingga kebanyakan masyarakat ortodoks memberinya titel akademik tertinggi yang terkenal dengan “Hujjatul Islam” (the Authority of Islam, Pembela Islam).

Setelah lima puluh tahun lamanya tulisan mereka, buku-bukunya menyebarkan pengaruh yang sangat besar terhadap Skolastisisme Yahudi dan Kristen. Ia tidak hanya mendahului mode yang luar biasa dari Holy War dan Pilgrim’s Progress-nya John Bunyan, tetapi juga mempengaruhi Ramon Marti, Thomas Aquinas dan Pascal, sebaik sejumlah pemikir-pemikir modern.

Buku-buku seperti Tahafutul-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf, Kimiyya’us-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) dan Misykatul-Anwar (Relung Cahaya) terus dipelajari secara seksama dan mengandung ajaran-ajarannya yang besar.

Pada Abad Pertengahan di Eropa ia dikenal dengan Algazel. Abu Hamid Muhammad al-Ghazali telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak dari catatan-catatan seorang penulis. Para ahli teologi Kristen dengan senang hati menyerahkan pertanyaan-pertanyaan itu kepada pemikir-pemikir Muslim, dan al-Ghazali memberikan jawaban-jawabannya kembali dan mencapai apa yang oleh Profesor Hitti disebut jawaban mystico-psychological Sufi. Posisi Sufisme yang diterima dan dikenal oleh banyak Muslim yang dianggap sebagai makna inti Islam adalah hasil langsung dari karya al-Ghazali.

Idea-idea yang disampaikan oleh al-Ghazali dan telah mempengaruhi St. Thomas Aquinas the Dominican dan St. Francis of Assisi, masing-masing dengan caranya sendiri, telah menyebabkan kebingungan di pikiran para pemikir Mistisisme Barat yang terus menahan sakit hingga kini. Bagi Sufi, aliran al-Ghazali dalam dua tekanan yang berbeda terlihat dengan jelas di dalam dua aliran Intelektual Dominican dan aliran Intuitif Franciscan. Dua pengaruh yang berbeda akibat gejala adaptasi dan spesialisasi dalam satu metode Sufi itu begitu definitif sedemikian jelasnya, bahkan sekalipun salah satunya tidak mengetahui sumber-sumber inspirasi yang dipakai oleh dua guru Kristen di atas, itu akan baik sekali untuk diidentifikasi aliran Sufinya.

Evelyn Underhill (Mysticism) telah mengatur untuk mengungkapkan kesatuan fondasi aliran-aliran yang tampak berbeda pada dua madzhab Kristen itu. Tampaknya tanpa mendengarkan pengaruh-pengaruh Sufi terhadap Mistisisme Kristen, ia bisa mencatat bahwa dua aliran Dominican dan Franciscan secara mendasar berakar dalam perenungan dan “akibat kemampuan menafsir dunia Abad Pertengahan yang merupakan tradisi spiritual besar masa lalu.”

Al-Ghazali, dengan menggunakan konsep Sufi bahwa semua religiusitas dan aktivitas psikologis secara esensial adalah alam yang sama, dengan menampilkan kembali tradisi yang berlaku yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh individu-individu tertentu, telah mencapai posisi dimana ia mampu menyajikan dua hal: dunia mistik dan teologis secara sempurna dalam konteksnya. Dalam pekerjaan itu, ia mampu mendemonstrasikan bagian dalam dari realitas agama dan filosofi (inner reality of religion and philosophy) dalam cara sedemikian sebagai seruan bagi para penganut setiap keyakinan (keimanan). Konsekuensinya, walaupun pekerjaannya telah dihormati oleh para pengikut dari berbagai tradisi yang berbeda, ada kecenderungan yang salah untuk menganggap bahwa ia telah mengusahakan pemaduan agama. Seorang ahli teologi Kristen, Dr. August Tholuck, termasuk yang beranggapan demikian, ketika ia menyetujui bahwa tulisan-tulisan al-Ghazali sesuai dengan agama Kristen. Pertanyaan-pertanyaan Tholuck tentang materi itu patut dicatat dengan seksama, ketika memberikan sebuah contoh yang luar biasa tentang bentuk pemikir “gajah di tempat gelap” yang tak mempercayai sebuah sumber tunggal untuk semua pengajaran metafisika yang jujur, dan harus mencoba memberikan penjelasan tentang bahan-bahan beberapa penampilan baru dari seorang guru:

“Semua itu baik, penting dan mulia, dimana jiwa besarnya telah sampai. Ia telah menganugerahkan Muhammadisme dan mempercantik doktrin-doktrin al-Qur’an dengan begitu banyak kesetiaan dan tahu bahwa dalam bentuk ajaran-ajaran yang ia berikan, tampaknya ajaran-ajaran itu, menurut pendapat saya, berharga bagi persetujuan ummat Kristen. Apa pun luar biasanya isi filsafat Aristoteles atau isi mistisisme Sufi, ia sangat hati-hati menyesuaikannya dengan teologi Muhammad. Dari tiap madzhab ia mencari makna-makna pancaran sinar dan kemurnian agama, pada saat kesetiaannya yang tulus dan kesadarannya yang tinggi menyebarkan sebuah kemuliaan yang suci ke dalam semua tulisannya.”

Sulit ada sesuatu yang mampu menggerakkan intelektualitas peneliti untuk mempercayai bahwa semua yang ia pelajari terbentuk dari sesuatu yang tambal sulam.

Pada suatu waktu, ketika hanya sedikit ahli agama yang mampu dengan seksama mengkaji sebuah Hadis Rasul secara benar, itu pun hanya terbatas pada orang-orang tua, al-Ghazali telah diangkat sebagai seorang Profesor pada universitas terkenal, Nizhamiyah di Baghdad, saat ia berusia tiga puluh tiga tahun. Intelektualitasnya benar-benar berada di tingkatan yang sulit dilampaui dalam Islam. Baginya, obyek pendidikan yang sebenarnya tidak semata untuk memberikan informasi, tetapi juga memberikan stimulasi terhadap kesadaran batin, sebuah konsep yang sangat revolusioner bagi pengajaran yang ada saat itu. Ia telah mengemukakan teorinya itu dalam bukunya, Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama). Dibanding Rumi (yang baru menyatakan tentang batas-batas puisi setelah menjadi penyair besar), al-Ghazali saat itu telah mampu menunjukkan keterpelajarannya. Tak kurang dari tiga ratus ribu Hadis Nabi saw. ia hafal, dan telah mendapat predikat Hujjatul-Islam (Pembela Islam).

Kekuatan-kekuatan intelektualnya yang telah menyatu dengan kegelisahan pikirannya, seperti yang ia kemukakan dalam tulisan-tulisan otobiografinya, membuatnya melakukan penyelidikan tanpa kenal lelah pada setiap dogma dan doktrin yang ia rasakan bertentangan. Ini semua dilakukan pada saat ia masih muda belia.

Selama masih mengajar, al-Ghazali telah membuat kesimpulan bahwa canon law, prinsip utama hukum (seperti yang telah ia tulis dalam buku-buku yang terpercaya) adalah basis yang tak cukup untuk mewadahi realitas, dan ia pun jatuh ke dalam Skeptisisme.

Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, al-Ghazali menggunakan dua belas tahun periode darwisnya — untuk mengembara dan melakukan meditasi, kembali ke latar belakang Sufinya untuk menemukan jawaban-jawaban yang tidak ia dapati dari dunia kebiasaan yang berlaku.

Ia mengaku bahwa telah menjadi seorang yang egois, dan sangat merindukan pujian dan pengakuan. Ketika menyadari bahwa dirinya telah menjadi sebuah penghalang dalam mencapai pemahaman yang benar, ia tidak secara mendadak merendahkan diri memilih “jalan gelap”, sebagai obat untuk segala penyakit yang menawarkan jalan menuju banyak mistik. Ia menetapkan, bahwa akan menggunakan pengembangan kesadaran agar sampai pada kebenaran obyektif

Selama periode melepaskan urusan-urusan duniawi, setelah melepaskan karirnya sebagai seorang terpelajar, dimana ia telah menyelamatkan teologi Muslim dari kerusakan, al-Ghazali menceritakan bagaimana ia berjuang melawan penguasaan dirinya. Ia telah mengembara di sepanjang wilayah Timur, untuk berziarah ke tempat-tempat suci dan mencari pencerahan serta kejelasan makna di dalam cara kaum Sufi (kaum Darwis), setiap kali ia memasuki sebuah masjid. Pada khotbahnya, sang Imam selalu mengakhiri ceramahnya dengan kata-kata, “Demikian Imam kita al-Ghazali mengatakan.”

Sufi yang mengembara itu berkata kepada dirinya sendiri, “Duhai penguasaan diri, betapa nikmat kau dengar kata-kata itu. Sebelum kuceritakan kenikmatan ini berulangkali, aku telah meninggalkan tempat ini dengan segera, untuk pergi ke tempat yang tak ada seorang pun bicara tentang al-Ghazali.”

Ahli teologi, yang telah menerima master di luar bidang-bidang keagamaan, tahu bahwa kesadaran tentang hal yang boleh jadi telah menjadi maksud dari istilah “Tuhan” adalah sesuatu yang hanya dapat diapresiasikan dengan makna-makna batin, bukan didapat melalui kerangka aneka keagamaan formal.

“Aku telah berkunjung ke Syria,” katanya, “dan berdiam di sana selama dua tahun. Tak ada obyek lain kecuali mencari kesunyian, mengalahkan kepentingan diri, berjuang melawan nafsu, mencoba menjernihkan jiwa untuk menyempumakan watakku.” Ia melakukan itu karena Sufi tidak bisa masuk ke pemahaman kecuali hatinya telah siap “bermeditasi dengan Tuhan,” sebagaimana dikatakannya.

Periode saat itu hanya cukup memberikan kepadanya pancaran-pancaran sporadis pemenuhan spiritual (rasa awal) — tingkatan yang dipertimbangkan oleh sebagian besar ajaran-ajaran mistik non-Sufi untuk menjadi puncak, tetapi kenyataannya itu hanya merupakan langkah awal.

Hal itu menjelaskan kepadanya bahwa, “Para Sufi itu bukan orang-orang yang hanya berbicara, melainkan berpersepsi batin.” “Aku telah mempelajari bahwa semua itu dapat dipelajari dengan membaca. Tetapi kelanjutannya tidak bisa diperoleh dengan studi atau bicara.”

Walaupun telah dibingungkan oleh percobaan-percobaan ekstatiknya dalam memikirkan semuanya itu dan akhir dari semua penjelajahan mistik, al-Ghazali sadar bahwa “penyerapan Tuhan, sebagaimana disebut, yang telah dianggap menjadi tujuan Sufi, kenyataannya hanyalah merupakan permulaan.”

Ia mengakhiri intelektualisine dan skolastisismenya, karena sadar bahwa semua itu adalah sebuah akhir, dan dengan demikian ia akan mampu menyelesaikan tangga-tangga pendahuluan yang dapat menyeberangkan pengalaman-pengalaman mistik ke dalam sebuah kesadaran final. Ia dapat melakukan semua itu karma telah memperoleh apa yang ia cari — sebuah bentuk pengenalan, mirip sebuah pancaran sinar langsung, yang telah memberikan sebuah perasaan keyakinan dan makna-makna untuk mencapai kesadaran tertinggi (ultimate realization). “Ini adalah sesuatu,” katanya melukiskan persepsinya, “yang secara khas mirip seseorang yang benar-benar telah meraba sebuah obyek.”

Menceritakan kebahagiaan dan kesempurnaan tentang sebuah proses transmutasi alkimia dari kesadaran manusia, al-Ghazali mengemukakan sebuah cerita tentang Bayazid (al-Bisthami), seorang guru Sufi klasik pertama, dalam bukunya Kimiyya’us-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan), untuk menekankan bagaimana amour propre (penguasaan diri) harus dilihat pertama dalam pancaran sinar yang nyata, sebelum pembersihan yang lain benar-benar dikerjakan:

Seseorang mendatangi Bayazid dan bertutur bahwa ia telah berpuasa dan beribadah selama tiga puluh tahun. Tetapi ia belum dekat pada pengenalan Tuhan. Bayazid menjawab, “Walaupun seratus tahun tak akan pernah cukup.” Orang itu bertanya, “Mengapa?”

“Karena keakuanmu telah menjadi penghalang antara dirimu dan kebenaran.”

“Berikan aku penyembuhnya!”

“Ada obatnya, tetapi ini tidak cocok untukmu.”

Laki-laki itu memaksa minta. Dan Bayazid setuju untuk menjelaskan.

“Pergilah dan cukur jenggotmu. Buka dirimu dan telanjangi, kecuali pakaian bagian pinggul ke bawah. Isi sebuah karung makanan penuh dengan buah walnut (sejenis kenari) dan pergilah ke pasar terbuka. Berteriaklah di sana, ‘Sebuah walnut untuk setiap anakyang menamparku!’ Lalu baliklah engkau menuju ke sidang di mana doktor-doktor hukum sedang mengadakan sidang!”

“Tetapi, sungguh, aku tidak bisa melakukan itu. Tunjukkanlah kepadaku cara-cara lain!”

“Hanya itu caranya,” kata Bayazid, “tetapi aku belum selesai menjelaskan semua, tak ada jalan lain untukmu.”

Al-Ghazali seperti guru-guru zuhud lainnya, mempertahankan bahwa Sufisme adalah pengajaran batin semua agama, dan ia telah menggunakan banyak kutipan dari Bibel dan Apocrypha untuk menetapkan pendiriannya. Ia telah menulis sebuah kritik awal tentang pemutarbalikan dalam idea-idea Kristen, “Al-Qaul al-Jamil fir-Radd ‘ala Man Ghayyaral Injil” (Pendapat Baik untuk Memberi Bantahan terhadap Orang yang Mengubah Injil). Sebagai konsekuensinya, tentu ia setuju berada di bawah pengaruh Kristen. Kenyataannya, setidak-tidaknya ia memang demikian, yang bahkan BBC (British Broadcasting Corporation) ketika pada kesempatan tertentu menggunakan cerita-cerita Sufi untuk program agamanya di pagi hari, mungkin saja mengambilnya dari sumber-sumber sekunder, dan menggunakannya dalam makna esoterik mereka bila sesuai dengan nilai-nilai Kristen.

Al-Ghazali telah dituduh mengkhotbahkan sesuatu dan di belakang layar mengajarkan sesuatu yang lain. Itu adalah kebenaran yang tak diragukan, jika diterima bahwa ia telah menganggap Sufisme aktif sebagai sebuah tanggung jawab khusus yang hanya cocok untuk sejumlah orang tertentu yang memiliki kemampuan untuk menerima “Kepandaian”. Aspek-aspek doktrinal dan eksternal Islam yang ia umumkan dengan ortodoksi yang benar-benar sempurna, telah diperuntukkan bagi mereka yang tidak dapat mengikuti batin “Jalan Sufi”.

Insan Kamil (Manusia Sempurna) itu, karena hidupnya dalam waktu yang bersamaan berdimensi beda, harus mengikuti lebih dari satu perangkat doktrin. Seseorang yang berenang menyeberangi sebuah danau akan melakukan gerakan-gerakan, dan bereaksi terhadap apa yang ia lihat, yang berbeda dengan seseorang yang menuruni sebuah bukit, misalnya, Ia manusia yang sama; dan ia mengerahkan seluruh kemampuan renangnya ketika menyeberang.

Dengan keberanian luar biasa ia benar-benar mengemukakan hal itu dalam bukunya, Mizanul Amal (Timbangan Amal).

Insan Kamil memiliki tiga bingkai kepercayaan:
Pada lingkungannya.
Pada yang ia berikan kepada murid-murid dalam menyesuaikan dengan kapasitas pemahaman mereka.
Pada yang ia pahami dari pengalaman-pengalaman batin; hal ini untuk diketahui oleh sebuah kelompok khusus.

Bukunya, Misykatul Anwar (Relung Cahaya) adalah sebuah ulasan tentang Ayat Cahaya dalam al-Qur’an yang sangat populer, juga sebuah gambaran pengertian awal tentang Ayat tersebut.1

Ia menjelaskan bahwa segala sesuatu memiliki arti “bagian luar” dan arti “bagian dalam”. Keduanya tidak dapat beroperasi bersama-sama, walaupun keduanya bekerja secara konsisten dalam berbagai segi masing-masing. Versi yang berlaku dalam kelompok-kelompok umum, itu benar, tidak mengandung penafsiran yang dirancang oleh perwakilan-perwakilan persaudaraan kaum darwis yang ada; tetapi itu hanya karena kunci untuk membuka buku yang luar biasa itu tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata, karena ia merupakan sebuah bentangan pengalaman pribadi. Dengan kata lain, itu hanya bisa dipahami bila dialami.

Kenyataan ini, suatu dasar dalam Sufisme dan ditentukan oleh banyak penulis Sufi, boleh jadi bisa dipahami dengan mudah oleh pemikir-pemikir formal. Dalam sebuah terjemahan Misykatul Anwar yang digarap di Inggris oleh Direktur School of Oriental Studies, Kairo, Mr. W.H.T. Gairdner mengungkapkan kesulitan memahami al-Ghazali pada materi tentang inti pengalaman berkaitan dengan kepercayaan dan ketidakpercayaan, dan banyak lagi:

“Semua itu adalah misteri-misteri dan rahasia-rahasia yang tak terkomunikasikan dari pengungkapan, dimana penulis kita (al-Ghazali) menghindari (kesudahan) pada saat yang pasti manakala kita mengharap kesimpulannya. Itulah seni yang amat tinggi — lebih dari sekadar menggiurkan. Siapakah orang-orang yang ‘Ahli’, kepada siapa ia telah mengkomunikasikan getaran-getaran rahasia itu? Apakah hal-hal yang dikomunikasikan itu pernah ditulis untuk atau oleh calon-calon anggota saudaranya?”

Al-Ghazali menyebut rahasia-rahasia yang dialami, tetapi tak dapat ditulisnya. Ia tak tergiur untuk mencobanya.

Di sana benar-benar ada empat bagian dari karya al-Ghazali. Pertama, adalah materi filsafati yang ia tempatkan sebagai penolakan terhadap intelektual-intelektual dan teolog-teolog Muslim, dengan tujuan menjaga bersama bingkai teoritik agama. Kemudian lahir ajaran-ajaran metafisiknya seperti yang terdapat dalam karya-karyanya, Misykat dan al-Kimayya’. Setelah itu ada makna-makna yang disimpan dalam bentuk simbol di dalam berbagai karya tulisnya. Terakhir, ada ajaran yang dijabarkan dari sebuah pemahaman tentang dua hal terakhir, yang sebagian disebarkan secara lisan, dan sebagian lagi mudah dicapai oleh mereka yang mengikuti karya dan pengalaman mistiknya secara benar.

Seperti halnya para Sufi klasik, al-Ghazali menulis dan menggunakan lambang dan simbol puisi. Nama julukan yang dipilihnya sendiri yang umum ia gunakan adalah “al-Ghazali”. Terutama alat ini, “Pemintal”. Julukan ini menunjuk pada “seorang pemintal”, yang mengerjakan bahan-bahan seperti wool — kata kode untuk Sufi — dan mengandung arti “kebutuhan pemintalan” atau “kerja pemintal bahan-bahan” dan “memintal dirinya sendiri”. Juga untuk mengasosiasikan profesi yang berhubungan dengan Fathimah (yang maksudnya “Pencelup”), putri Muhammad saw. Darinya seluruh keturunan Nabi Muhammad saw menggambarkan silsilah mereka. Mereka dipercayai mewarisi pengajaran batin Islam, untuk menunjuk ke mana pengajaran batin Islam itu berhubungan dengan semua tradisi metafisik yang asli.

Perhatian penuh terhadap nama-nama puitik yang dipilih itu telah ditunjukkan oleh banyak asosiasi lain tentang kerja. Al-Ghazali juga melambangkan gazelle (istilah genetik untuk jenis-jenis antelope, tipe rusa bertanduk yang larinya cepat, seperti kijang, yang merupakan kata homonim dari “pecinta”). Tiga akar huruf GH-Z-L, dari mana kata GHaZaL diturunkan, yang itu juga berasal dari istilah teknis bahasa Arab standar dan Persia untuk menyatakan sebuah puisi cinta, sebuah tanda cinta kasih. Asal kata lain yang berakar dari kata itu juga meliputi pengertian sebuah jaring laba-laba (sesuatu yang teranyam) yang merupakan suatu keadaan yang direncanakan menjadi penghubung aksi menuju iman. Aksinya adalah penganyaman sebuah jaringan yang meliputi mulut gua, tempat Muhammad dan sahabatnya Abu Bakar bersembunyi dari musuh-musuh mereka dalam suatu kesempatan (sebelum hijrah ke Madinah).

Seorang Sufi tahu tradisi-tradisi itu. Karenanya menafsir nama al-Ghazali sesuai dengan prinsip yang telah menjadi pilihannya. Lalu, baginya, itu berarti bahwa al-Ghazali mengikuti jalan Cinta, jalan Kesufian (“benang wool”), yang artinya pekerjaan “memintal kesufian”. Al-Ghazali telah meninggalkan catatan-catatan kunci untuk diambil oleh para penggantinya, meliputi isyarat tentang keterjagaan sebuah doktrin batin (Fathimah, Pencelup) dalam konteks keagamaan yang ia alami.

Metodologi al-Ghazali diikuti oleh kelompok-kelompok Sufi dengan bermacam-macam variasi. Ia secara khusus mempertahankan penggunaan musik, untuk mengangkat persepsi-persepsi dalam buku Ihya’-nya — dalam hal yang semacam itu musik digunakan kaum Darwis dari Tarekat Mevlevi dan Chisytiyah. Di Barat, gubahan Ravel, Balero, sesungguhnya merupakan sebuah penyesuaian dari salah satu karya-karya musik yang dikomposisi secara khusus itu. Ia mengemukakan bahwa dalam upaya mengembangkan ke arah fakultas-fakultas lebih tinggi, kebanggaan diri harus dikenali dan dikalahkan. Bentuk-bentuk ini adalah bagian lain dari latihan dan studi Sufi. Ia memberi petunjuk bahwa kesadaran harus dialihkan, lebih baik daripada dikalahkan.

Itu sebenarnya digunakan dalam ungkapan khusus alkimia oleh para Sufi Abad Pertengahan yang bertanggung jawab atas sebagian besar kekacauan pikiran di kalangan peneliti-peneliti terakhir ini, perihal apa sebenarnya “alkimia” yang dimaksudkan. Sebagian menyatakan bahwa itu adalah sebuah bentuk samaran dari sebuah penyelidikan spiritual. Sebagian lagi menjawab, bahwa laboratorium-laboratorium para ahli alkimia telah diuji dan menunjukkan semua indikasi penggunaannya untuk eksperimen-eksperimen nyata. Karya-karya yang berasal dari para ahli alkimia spiritual telah digambarkan sebagai uraian kimiawi.

Al-Ghazali berkata demikian, “Emas alkimia lebih baik dari emas, tetapi ahli-ahli alkimia yang sebenarnya sangat jarang, karena itu merekalah Sufi-sufi yang sebenarnya. Tetapi orang yang punya sedikit pengetahuan kesufian tidak lebih baik dari seorang yang terpelajar.” (Kimiyya’us-Sa’adah).

Pertama kali perlu dicatat bahwa sebagian besar tradisi alkimia masuk ke Barat melalui sumber-sumber Arab dan apa yang disebut Lempengan Zamrud dari Hermes, the Thrice Greatest, bentuknya yang asli ditemukan di Arab. Lebih dari itu, perlu dicatat pula bahwa Sufi klasik yang pertama adalah Jabir bin al-Hayyan, dikenal sebagai sang Sufi, ahli alkimia dan okultis — Latin terkenal dengan Geber, yang hidup tiga abad sebelum al-Ghazali.

“Karya Agung” itu yang merupakan ungkapan terjemahan Sufi dan doktrin tentang mikrokosmos-makrokosmos (apa yang di atas sama dengan apa yang di bawah) juga terdapat dalam tradisi Sufi, dan diperkaya oleh al-Ghazali. Apabila Sufisme ternyata bukan ciptaan yang terikat pada suatu waktu tertentu, maka tak ayal lagi bahwa gagasan yang mirip mesti terdapat dalam tradisi-tradisi kebatinan asli lainnya. Kecuali kalau semua hal kebatinan itu benar-benar dipahami, maka pengamatan atas teori transmutasi dari yang kasar ke yang halus dari pijakan yang memadai, tiada lagi berguna.

Karya al-Ghazali Ihya’ Ulumiddin secara luas sangat berpengaruh di kalangan Muslim Spanyol (sebelum ia diakui sebagai ulama agung dalam Islam) karena mengandung pernyataan-pernyataan seperti:

Masalah pengetahuan Ilahiyah itu begitu dalam sehingga hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang mengalaminya. Seorang bocah tidak mungkin memahami jangkauan pengetahuan seorang dewasa yang sebenarnya. Seorang dewasa yang awam tidak mungkin memahami pencapaian seorang yang terdidik. Demikian pula seorang yang terdidik tidak mungkin memahami pengalaman-pengalaman para wall yang tercerahkan atau para Sufi.

Ihya’ mengandung penjelasan-penjelasan yang sangat penting dengan cinta ideal Sufi. Adapun perumpamaan manusia dengan sesamanya atau dengan makhluk seringkali digunakan. Dengan mengutip guru Sufi Malik bin Dinar, al-Ghazali menyatakan dalam Ihya’, Jilid IV “Seperti burung sejenis terbang bersama-sama, dua orang mempunyai kemampuan umum yang sama akan bergabung.”2

Al-Ghazali menjelaskan bahwa suatu “(pemakaian) pembauran dari (kata) seekor babi, seekor anjing, setan dan seorang wali” adalah titik pijak yang tidak lazim bagi pikiran yang berusaha mencapai pemahaman yang mendalam tentang hal-ihwal, dan pembauran ini tidak dapat dipahami melalui definisi. “Anda harus berhenti memandang sebuah bantal apabila sedang mencoba melihat sebuah lampu.”

Cara pembauran banyak hal adalah dibenarkan, sementara metode refleksi yang khas melalui pencerminan (penyamaan) ini harus dipahami dan dipraktekkan. Metode tersebut adalah pengetahuan sekaligus praktek yang merupakan hasil spesialisasi Sufi.

Teknik-teknik Sufisme tertentu untuk mencapai kemampuan mempelajari dan pembelajaran itu sendiri, seperti hikmah yang merupakan pencapaian terakhir, adalah hasil pendekatan kongkret. ‘Ada banyak tingkat pengetahuan,” tandas al-Ghazali. “Manusia secara fisik semata laksana semut berjalan di atas kertas, yang mengamati tulisan tinta dan hanya menghubungkan penulisannya dengan pena.” (Kimiyya’us-Sa’adah).

Apa hasil spesialisasi ini, selama dunia menjadi perhatian? Al-Ghazali menjawab dengan istilah-istilah khusus dalam Kimiyya. Sebagian orang mengendalikan tubuh mereka sendiri. “Para individu yang mencapai puncak kemampuan tertentu itu (mampu) mengendalikan tubuh mereka sendiri, demikian pula terhadap orang lain. Seandainya sebuah cacat di tubuh mereka ingin dipulihkan, maka ia tentu memulihkannya … Mereka mempunyai daya tarik atas orang lain karena suatu pengaruh kehendak.”

Ada tiga kualitas sebagai hasil dari spesialisasi Sufi yang dapat diungkapkan dengan istilah yang dapat dipahami pembaca awam:
Kemampuan ekstra persepsi, yang secara dasar dikerahkan.
Kemampuan mengeluarkan diri dari lingkungannya.
Kesadaran langsung atas pengetahuan. Bahkan apa yang biasanya sulit dicapai, mereka memahaminya melalui iluminasi atau pengamatan batiniah.

Kemampuan-kemampuan tersebut mungkin tampak khusus atau asing, namun semua itu sebenarnya hanya sebagian tingkat wujud atau eksistensi yang lebih tinggi, dan hanya dapat diterima orang awam melalui cara yang kasat ini. “Hubungan timbal balik (kesalingterkaitan) ini tidak dapat dijelaskan secara biasa; seperti dalam banyak hal lainnya, kita tidak dapat menjelaskan pengaruh puisi terhadap orang yang telinganya tidak dapat menangkapnya, atau pengaruh warna terhadap orang yang fungsi penglihatannya cacat.”

Al-Ghazali menjelaskan, manusia mampu hidup dalam beberapa taraf yang berbeda. Manusia biasanya tidak cukup tahu tentang kemampuannya untuk membedakan. Manusia (biasanya) berada pada salah satu taraf berikut ini. “Taraf pertama, ketika ia seperti seekor ngengat. Mempunyai penglihatan, tapi tidak mempunyai memori. Ia akan terus-menerus melapukkan (kain) dengan cara yang sama. Taraf kedua, ibarat seekor anjing, walaupun sedang lelah ia akan lari tunggang-langgang ketika melihat sebuah tongkat (pemukul). Taraf ketiga, seperti seekor kuda atau domba, keduanya akan segera lari ketika melihat seekor singa atau serigala yang merupakan musuh alami mereka. Namun keduanya tidak akan lari karena seekor unta atau kerbau, meskipun hewan tersebut lebih besar dari musuh turun-temurunnya itu.” Taraf keempat, manusia sepenuhnya melampaui keterbatasan-keterbatasan binatang tersebut. Kini ia mampu menggunakan beberapa kedalaman pandangan inderawi secara fungsional. Hubungan antara taraf yang berkenaan dengan daya penggerak tersebut dapat disetarakan dengan:
Berjalan di atas tanah.
Menumpang perahu.
Naik kereta.
Berjalan di atas laut.

Selain semua ini, ada yang mungkin menyatakan bahwa pada fase tertentu manusia dapat terbang di udara dengan kekuatan dirinya sendiri.

Orang biasanya berada pada salah satu dari dua taraf yang pertama. Dalam hal ini mereka tidak bertahan sebagaimana seharusnya. Dalam keadaan statis, mereka senantiasa bertentangan dengan orang-orang yang senantiasa dinamis.

Dalam karya metafisisnya, al-Ghazali jarang sekali mempersulit diri untuk memaksa orang mengikuti langkah Sufi. Namun, dalam satu ulasan pendek, ia benar-benar menandaskan satu argumen: “Jika apa yang dikatakan para Sufi itu benar — bahwa ada upaya sangat penting dalam hidup yang menunjuk suatu hubungan dengan masa depan manusia — maka ada banyak perkara di dunia masa depan itu. Di sisi lain, jika tidak ada hubungannya, maka sama sekali tidak ada persoalan.” Oleh karena itu, al-Ghazali mengajukan, “Tidakkah lebih baik membebaskan prasangka itu dengan menunjukkan sudut pandang tersebut? Selebihnya akan sangat terlambat.”

Selanjutnya, dalam Kimiyya’us-Sa’adah al-Ghazali kembali pada persoalan aspek psikologis musik. Ia mencatat bahwa mekanisme musik dan tari dapat digunakan untuk menggairahkan (hidup). Musik dapat menjadi sebuah metode untuk menciptakan dampak emosional. Namun ia mempertahankan bahwa ada sesuatu fungsimusik yang polos — musik yang tidak menimbulkan sentimen agama-semu — yang digunakan sebagai sarana ibadah.

Penggunaan musik di kalangan Sufi berbeda dengan penggunaan secara emosional. Sebelum seorang Sufi terlibat dalam kegiatan musikal, termasuk mendengarkan musik, pastilah ditentukan melalui pencermatannya, apakah musik tersebut akan berguna bagi pengalamannya.

Ada sebuah centa berhubungan dengan masalah ini yang menunjukkan bagaimana seorang guru Sufi (Syekh al -Jurjani) menjelaskan kepada seorang murid yang (dianggap) belum pantas mendengarkan musik dalam lingkaran Sufi sebagai tujuan penghayatan. Dalam menanggapi permohonannya, Syekh itu menjawab, “Berpuasalah selama seminggu. Kemudian ada masakan lezat dihidangkan untukmu. Jika engkau lebih suka pada kegiatan musikal, maka silahkan ikut!”

“Keterlibatan dalam musik dan ‘tari’ dalam setiap keadaan,” kata al-Ghazali, “bukan saja dilarang, namun sebenarnya berbahaya bagi calon murid.” Psikologi modern ternyata masih belum menyadari adanya fungsi khusus untuk meningkatkan kesadaran.

Realitas “ungkapan” pengalaman Sufii sangat sulit dipahami “orang luar” yang terbiasa berpikir dengan cara-cara yang berbeda dengan ungkapan itu. “Kelonggaran harus dilakukan kepadanya,” kata al-Ghazali, “karena ia tidak paham terhadap ungkapan-ungkapan itu. Ia laksana orang buta yang mencoba memahami pengalaman melihat dedaunan yang hijau atau aliran air.”

Paling jauh “orang luar” hanya dapat mempertalikan pengalaman yang disampaikan kepadanya sesuai dengan pengalaman-pengalamannya sendiri yang sensual, menggairahkan dan emosional. “Namun orang yang bijak tidak akan mengingkari ungkapan-ungkapan yang sederhana itu meskipun ia tidak mengalaminya; meskipun bentuk opini tersebut amat sangat bebal”.

Wawasan kalangan Deistis [kalangan yang percaya kepada Tuhan secara alamiah atau secara kultural (Deisme)] yang disebut pengalaman mistik itu, yang sama sekali tidak menghasilkan pengetahuan unggul dan hanya merupakan suatu bentuk (pengalaman) yang memabukkan, bukanlah satu-satunya pengalaman yang berusaha dilukiskan oleh al-Ghazali. Setidaknya ia cenderung menerima anggapan bahwa ada semacam perasukan Ilahi ke dalam diri manusia. Namun, seluruh penyampaian (pengalaman) lewat upaya penyulihan dengan sarana ‘kata’, yang secara adequate (memadai-makna) tidak akan terpenuhi, telah ditiadakan, bahkan mungkin ditentang. Seorang Sufi, pengulas al-Ghazali, mencatat bahwa hal-ihwal yang merupakan pengalaman komprehensif, “tidak dapat dikandungi (dilingkupi) dengan ungkapan secara lisan, lebih-lebih lagi apabila ia menganggap gambar buah di kertas dapat dimakan atau mengandung gizi.”

Upaya kalangan cendekiawan atau eksternalis (zhahiriyah) dalam memahami sesuatu — seolah-olah ia “mengetahui”-nya — dengan memaksakan pemakaian sesuatu yang berada “di seberang”, adalah “seperti seseorang yang bercermin, membayangkan bahwa wajahnya sama dengan kesan (bayangan) yang ada di cermin”.

Dalam pertemuan para darwis, ada semacam kejang ekstase dan tanda-tanda lain tentang pengalaman atau keadaan yang menyimpang. Al-Ghazali mengutip bahwa satu kali Syekh Junaid yang Agung menegur seorang pemuda yang mengalami “ceracau/kegilaan” pada suatu pertemuan Sufi. “Jangan pernah lakukan itu lagi, atau tinggalkan majelisku!” tandas Junaid kepadanya. Kepercayaan Sufi adalah, bahwa peristiwa semacam itu yang mungkin berasal dari perubahan-perubahan batin adalah semu atau emosional semata. Adapun pengalaman yang sejati tidak menimbulkan gejala fisik sedemikian itu, baik berupa “ungkapan secara lisan” atau bergulir-gulir di lantai. Dalam Riyadh al-Asrar (Kebun Rahasia), Sufi termasyhur Mahmud Syabistari mengulas, “Apabila engkau tidak mengetahui ungkapan-ungkapan ini, biarkanlah, jangan pula bergabung dengan orang kafir dalam ketidaktahuan yang semu … Namun mereka semua tidak mempelajari rahasia-rahasia jalan itu.”

Pembuktian-pembuktian tersebut sedikit banyak berkaitan dengan emosi penggunaan kata-kata yang melemahkan dan akhirnya meruntuhkan agama formal. Membuat ungkapan-ungkapan yang berkait dengan Tuhan, keimanan, atau setiap agama, merupakan persoalan eksternal, paling banter sesuatu yang emosional. Karena itu, kalangan Sufi tidak akan membahas Sufisme dalam konteks yang sama dengan agama. Sementara berbagai taraf itu termasuk dalam Sufisme.

Konon, ada pengalaman batin yang dapat dilihat sebagai fraseologi agama yang lazim, yaitu ungkapan-ungkapan tertentu yang sepenuhnya mengandung makna, karena terjadi peralihan dari yang kasar ke yang lebih halus. Al-Ghazali menggambarkan fakta ini melalui sebuah kisah. Mahaguru Sufi Fudhail bin Iyadh (w. 801) berkata, “Apabila ada yang bertanya, ‘Apakah engkau mencintai Tuhan?’ Jangan engkau jawab! Karena jika engkau jawab,’Aku tidak mencintai Tuhan,’ berarti engkau seorang yang tidak percaya (kafir). Namun, jika engkau menjawab, ‘Aku benar-benar mencintai Tuhan,’ maka perbuatan-perbuatanmu akan bertentangan dengan ucapanmu itu’.”

Apabila seseorang memahami tentang cinta religius, ia tentu akan mengungkapkannya dengan cara sendiri, bukan menurut cara yang lazim bagi orang-orang yang tidak mengetahuinya. Setiap orang akan terangkat (kedudukannya) atau sebaliknya sesuai dengan kemampuan dirinya dan apa yang diakrabinya. Al-Ghazali berkisah: “Seseorang pingsan karena menghirup parfum bazar, kemudian orang-orang mencoba menyadarkannya dengan aroma yang manis. Datanglah orang yang mengenalnya, lalu berkata, ‘Aku dulu tukang sapu, orang itu juga. Ia akan sadar apabila mencium (aroma) yang terbiasa baginya.’ Maka dzat yang aromanya memuakkan dioleskan di hidungnya, seketika ia sadar kembali.”

Bentuk pernyataan ini pada umumnya merupakan anathema (gugatan) terhadap mereka yang mencoba menyetarakan kesan-kesan biasa dengan tataran wujud yang lebih tinggi, dan menganggap bahwa mereka setidaknya mengalami tingkat-tingkat ketuhanan atau mistik hanya menurut — dan tidak lebih dari — tingkat-tingkat akar rumput (awam). Bentuk awam ini memang sesuai dengan konteksnya dan tidak dapat ditransposisi. Sepeda motor tidak dapat berjalan bila diisi dengan mentega, meskipun mentega sendiri adalah bahan yang sangat istimewa. Bagaimana juga, tak seorang pun bermaksud menyetarakannya dengan bensin. Doktrin Sufi tentang suatu kesatuan rangkaian dzat murni, dalam hal ini, akan dilihat sebagai benar-benar berbeda dengan kemurnian sistem lainnya. Dua madzhab yang lain mempertahankan bahwa dzat keseluruhannya pasti musnah, atau pasti digunakan. Secara faktual, tingkat dzat mempunyai fungsinya sendiri; dan dzat selanjutnya meningkatkan kemurniannya sehingga ia menjadi apa yang pada umumnya dianggap terpisah, yaitu spirit (jiwa).

Al-Ghazali menjelaskan doktrin itu: “Memahami berbagai fungsi yang tampaknya sama itu pada tataran-tataran yang berbeda adalah penting (dan perlu), contohnya: mata mungkin melihat benda yang besar tampak kecil, seperti ia melihat matahari sebesar mangkok … Akal menyadari bahwa matahari ternyata beberapa kali lebih besar dari bumi … Kemampuan berimajinasi dan berfantasi seringkali menghasilkan kepercayaan dan melampaui pendapat (keputusan) yang mereka anggap sebagai hasil pemahaman. Maka dari itu, kekeliruan ini adalah proses bawah sadar berupa ketidaksadaran atau ketidakpekaan (rasa).” (Misykatul Anwar, bagian yang pertama). Yang dimaksud ketidakpekaan menurut al-Ghazali adalah mengacu kepada orang-orang yang tidak mampu memahami kesan-kesan dan makna yang beragam. Di antara beberapa hal penting tentang “diri” di dalam Ihya’.

“Diri” adalah suatu serapan personalitas manusia, yang digunakan untuk menangkap kesan-kesan dan mempergunakan kesan-kesan untuk pemuasan (jiwa), namun juga berarti kualitas individu yang batiniah dan hakiki. Menurut kapasitas ini, nama formanya berbeda sesuai dengan fungsinya. Manakala esensi itu menjalankan secara benar reorganisasi kehidupan emosional dan mencegah kebingungan, maka itulah yang dikenal sebagai “Diri yang Tentram” [an-Nafs al-Muthma'innah]. Dalam penerapan kesadaran, ketika ia sedang menyadari laki-laki atau perempuan sebagai materi yang berbeda, maka kesadaran itu disebut “Diri yang Cenderung”. Namun dalam hal ini, ada persoalan yang sangat pelik karena, untuk tujuan penjelasan dan pengajaran, “Diri yang Hakiki” itu harus dinamai. Kendati demikian, pembedaan cara kerjanya sesuai dengan penampilan dapat memberikan kesan bahwa ada sejumlah hal yang berbeda atau bahkan ada tingkat perkembangan yang berbeda. Adalah absah merepresentasikan proses itu sebagai tahap-tahap yang secara sadar disusun, tetapi paling jauh hanya sebagai perbedaan ilustratif Kesadaran Sufi yang diterapkan secara benar akan melihat berbagai tahap transmutasi hakikat itu dengan cara yang istimewa dan khas, yang secara memadai, tidak disalin dengan terminologi yang lazim. Manakala hakikat itu diterapkan secara normal bagi orang yang terbelakang (secara mental), maka ia mengarahkan potensialitasnya pada mekanisme yang (hanya) memperturutkan kepuasan-kepuasan bersahaja, dan kesadaran ini dikenal sebagai “Diri yang Terpimpin”.

Al-Ghazali menandaskan, “Keadaan-keadaan khusus itu mudah dipahami dan mengesankan bahwa setiap hal juga mudah dipahami. Akan tetapi ada situasi-situasi yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang meniliknya dengan suatu cara tertentu (yang istimewa). Ketidaktahuan pada (mekanisme) ini menimbulkan kesalahan-kesalahan umum yang menganggap segala hal sebagai sesuatu yang seragam.”

Seperti pada guru Sufi yang lain, al-Ghazali menyadari bahwa ia harus mengulang argumennya dengan cara-cara yang berbeda sebagaimana dituntut dalam teksnya. Hal ini hanya sebagian saja, karena metode Sufi mungkin membutuhkan pijakan yang sama untuk dibahas melalui sejumlah gagasan-gagasan lainnya, dan karena, seperti seringkali disaksikan dalam diskusi kelompok, orang mungkin (hanya) berlagak dalam mengungkapkan suatu gagasan penting yang belum dipahaminya. Gagasan sebenarnya harus diolah sebagai kekuatan dinamis dalam pikiran murid. Bagaimana juga, karena ia terkondisi dan terlatih, murid akan menerima sebuah gagasan sebagai suatu yang terbiasa. Hasil kegiatan ini akan tampak apabila ia merespon secara sadar ketika stimulus gagasan tertentu diterapkan kepadanya. Pengkondisian mana pun, ketika telah terjadi, harus dihentikan sebelum dampak pengalaman sang Sufi dapat mewujudkan diri.

Kesalahpahaman dalam pemakaian istilah “Anak Tuhan” (yang disifatkan kepada Yesus) dan “Ana al-Haqq” (yang diungkapkan sang Sufi al-Hallaj)3 sebenarnya disebabkan oleh persoalan tersebut. Upaya mengungkapkan keadaan-keadaan itu melalui bahasa tidaklah memadai, karena ungkapan tersebut menimbulkan kesalahpahaman.

Dalam Ihya’ al-Ghazali menyatakan bahwa individu mengalami tahap-tahap perkembangan batin yang analog dengan manusia yang tumbuh dewasa. Perkembangan bertahap ini menyebabkan penggunaan cara-cara yang berbeda dalam pengalamannya. Karena itu, seorang Sufi tidak membutuhkan pengalaman fisik tertentu, sebab perkembangannya telah menyulih suatu kemampuan menjadi lebih logis, pengalaman yang lebih bermutu. “Sebagai contoh, setiap tingkat kehidupan ditandai dengan suatu kesenangan yang baru. Anak-anak senang bermain dan tidak mempunyai konsepsi tentang perkawinan yang menyenangkan itu, yang akan mereka alami suatu saat. Selanjutnya orang dewasa, pada waktu mudanya, tidak akan mempunyai kemampuan (merasakan) kesenangan (memiliki) kekayaan dan kemasyhuran yang dialami kelompok usia setengah baya. Kemudian yang terakhir ini, mungkin menganggap kegembiraan terdahulu tidak lebih nyata daripada saat sekarang. Individu pada perkembangannya, tentu, akan menyadari ketaksempurnaan, ketidakpekaan atau kebiasaan sporadis masa remaja yang menyenangkan itu dibandingkan dengan kemampuan-kemampuan apresiasi mereka yang baru.”

Alternasi (pemakaian) berbagai kiasan itu, yang mencegahnya terkristalisasi menjadi semata-mata pengubahan mekanisme, merupakan prosedur umum dalam pokok pengajaran madzhab-madzhab Sufi. Di dalam karya-karyanya, al-Ghazali kerapkali menyulih pengajarannya dengan pengertian lahir apabila mempunyai makna batin yang sama. Dalam Minhajul-Abidin, ia membahas tentang kemajuan bertahap dari kimiawi kesadaran sebagai tujuh “lembah” pengalaman: Lembah Pengetahuan, Kembali (Tobat), Rintangan-rintangan, Godaan-godaan, Cahaya, Jurang-jurang dan Pujian. Semua ini merupakan rangka proyeksi risalah Sufi yang lebih teologis dan merupakan media perantara, sehingga kalangan Muslim dan Kristen yang saleh mampu memetik manfaat tentang ajaran Sufi. Menarik untuk dicatat bahwa Bunyan dan Chaucer telah menggunakan bahan ajaran Sufi ini untuk memperkuat pemikiran Katholik. Adapun para guru Timur seperti Aththar dan Rumi mempertahankan hubungan dengan arus pemaknaan yang lebih langsung dari tema “pencarian”; hal ini mungkin karena mereka adalah guru-guru praktek, namun juga teori, dalam lingkungan madzhabnya.

Kebahagiaan manusia, menurut al-Ghazali, secara berturut-turut menjalani pemurnian sesuai dengan “keadaan wujud”-nya. Ajaran ini, yang tidak akan terpahami pandangan manusia biasa tentang adanya bentuk standar kebahagiaan, sebagai suatu abstraksi, merupakan suatu ciri-ciri yang kuat dari pengetahuan Sufi.

Manusia mempunyai beberapa kemampuan, masing-masing menanggapi tipe kesenangannya sendiri. Pada mulanya ada tipe fisikal. Demikian pula ada fakultas moral, yang saya sebut akal sejati, yang menyenangi perolehan pengetahuan sebanyak mungkin. Jadi ada kegemaran lahir dan batin. Demikian pula keduanya akan dipilih menurut pemurniannya.

“Seorang manusia yang mempunyai suatu kemampuan menerima kesempurnaan Wujud akan memilih kontemplasi. Bahkan dalam kehidupan ini, kebahagiaan pengembara yang sejati adalah tiada tara — lebih agung daripada yang mungkin dibayangkan.”

Catatan kaki:

1 Lihat anotasi “Ayat Cahaya“.

2 Versi Sayed Nawab Ali, Some Moral and Religious Teachings of al-Ghazzali, Lahore,1960, hlm.109.

3 Lihat anotasi “Al-Hallaj“.
Sumber:
(Karya Al-Ghazali: Kimiyya’us-Sa’adah) Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi oleh Idries Shah Judul asli: The Sufis, Penterjemah M. Hidayatullah dan Roudlon, S.Ag. Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Shafar 1421H, Juni 2000 Jln. Ikan Mungging XIII/1, Surabaya 60177 Telp.(031) 3539440 Fax.(031) 3529800

Nasehat Imam Ghazali

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya….pertama,”Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab “orang tua,guru,kawan,dan sahabatnya”. Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “MATI”. Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Ali Imran 185)

Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua…. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”. Murid -muridnya menjawab “negara Cina, bulan, matahari dan bintang -bintang”. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawapan yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah “MASA LALU”. Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga…. “Apa yang paling besar di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawah “gunung, bumi dan matahari”. Semua jawapan itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “NAFSU” (Al A’Raf 179).Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”. Ada yang menjawab “besi dan gajah”. Semua jawapan adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “MEMEGANG AMANAH” (Al Ahzab 72).Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.

Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”…Ada yang menjawab “kapas, angin, debu dan daun-daunan”. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara bermesyuarat kita meninggalkan sholat.

Dan pertanyaan keenam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”…Murid-muridnya menjawab dengan serentak, “pedang”. Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “LIDAH MANUSIA” Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Keutamaan Ihya Ulumiddin

Iman Al-Yafi’I r.h. meriwayatkan dengan sanad yang sohih sebuah kisah sebagai berikut :
Syaikh Abal Hasan r.h. seorang ahli fiqih yang di zamannya ditaati dan didengar perkataannya pernah menentang kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Gozali q.s. Beliau berpandangan bahwa Ihya Ulumiddin telah melanggar As-Sunnah.
Puncak penentangan itu beliau ekspresikan dengan memerintahkan untuk mengumpulkan naskah Ihya Ulumiddin. Beliau berencana membakarnya di hadapan masyarakat pada hari Jum’at di masjid jami’.
Pada malam jum’at itu, beliau bermimpi. Dalam mimpi itu beliau masuk ke masjid jami’. Di sana dilihatnya ada Nabi Muhammad s.a.w. bersama sohabat Abu Bakar As-Sidiq r.a. dan ‘Umar bin Khottob Al-Faruq r.a. Saat itu dilihatnya pula Imam al-Gozali q.s. berada di hadapan Nabi s.a.w.
Ketika Syaikh Abal Hasan datang menghadap, Imam Al-Gozali q.s. berkata, “Orang ini memusuhiku ya Rosulalloh. Apabila masalah sebagaimana yang ia sangka, maka aku akan bertaubat dan apabila bagiku ada berkahmu dan aku termasuk mengikuti sunnahmu maka tunaikanlah hakku dari musuhku ini”
Kemudian Nabi s.a.w. mengambil kitab Ihya Ulumiddin. Dibukalah oleh beliau selembar demi selembar dari awal sampai akhir. Lalu beliau bersabda, “Demi Allah, sungguh ini sesuatu yang baik”.
Diambillah kemudian Ihya Ulumiddin itu oleh Abu Bakar As-Sidiq r.a. Beliau menelitinya lalu berkata, “Benar, demi Zat yang mengutus engkau dengan haqq (kebenaran), sungguh ini sesuatu yang baik”.
Diambil pula kemudian oleh ‘Umar bin Khottob r.a. Beliau pun menelitinya, kemudian memujinya sebagaimana Abu Bakar as-Sidiq r.a.
Turunlah perintah dari Nabi s.a.w untuk membuka baju Syaikh Abal Hasan dan memukulnya dengan had (hukuman) untuk pemfitnah.
Saat hukuman telah dilakukan lima kali pukulan cambuk. Abu Bakar As-Sidiq r.a. memberikan pertolongan dan pembelaan. Beliau berkata, “Ya Rosulalloh, ia menyangka telah terjadi pelanggaran sunnahmu dan ternyata sangkaannya salah”.
Mendengar itu Imam Al-Gozali q.s. meridoinya dan menerima pembelaan Abu Bakar As-Sidiq r.a.
Terbangunlah Syaikh Abal Hasan r.h. dan menemukan bekas cambukan di punggungnya.
Kejadian ini beliau beritahukan kepada para sahabatnya. Beliau bertaubat kepada Allah SWT dari ingkarnya terhadap Imam Al-Gozali q.s.
Bekas cambukan itu terus terasa sakit dalam waktu yang lama. Beliau memohon kepada Allah SWT dan meminta syafa’at Nabi s.a.w. Sampai suatu ketika Nabi s.a.w. datang dalam mimpinya. Beliau mengusap punggungnya sehingga ia sembuh dengan izin Allah SWT.
Setelah itu beliau terus-menerus mempelajari Ihya Ulumiddin. Allah SWT bukakan baginya apa yang ada di dalamnya, sehingga beliau menggapai ma’rifatullah dan menjadi seorang syaikh besar dalam ilmu lahir dan batin. Rohimahulloh. Amin***

Kisah Hikmah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar