Minggu, 06 Februari 2011

Perjalanan Sufi Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a.

Suatu ketika saat berkelana beliau berkata dalam hati, “Ya Allah, kapankah aku bisa menjadi hamba-Mu yang bersyukur?” Kemudian terdengarlah suara, “Kalau kamu sudah mengerti dan merasa bahwa yang diberi nikmat hanya kamu saja” Beliau berkata lagi, “Bagaimana saya bisa begitu, padahal Engkau sudah memberi nikmat kepada para Nabi, Ulama dan Raja?” Kemudian terdengar suara lagi, “Jika tidak ada Nabi, kamu tidak akan mendapat petunjuk, jika tidak ada Ulama kamu tidak akan bisa ikut bagaimana caranya beribadah, jika tidak ada Raja kamu tidak akan merasa aman. Itu semua adalah nikmat dari-Ku yang kuberikan hanya untukmu”.
ِِSyadziliyah adalah nama suatu desa di benua Afrika yang merupakan nisbat nama Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. Beliau pernah bermukim di Iskandar sekitar tahun 656 H. Beliau wafat dalam perjalanan haji dan dimakamkan di padang Idzaab Mesir. Sebuah padang pasir yang tadinya airnya asin menjadi tawar sebab keramat Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. Beliau belajar ilmu thariqah dan hakikat setelah matang dalam ilmu fiqihnya. Bahkan beliau tak pernah terkalahkan setiap berdebat dengan ulama-ulama ahli fiqih pada masa itu. Dalam mempelajari ilmu hakikat, beliau berguru kepada wali quthub yang agung dan masyhur yaitu Syekh Abdus Salam Ibnu Masyisy, dan akhirnya beliau yang meneruskan quthbiyahnya dan menjadi Imam Al-Auliya’. Peninggalan ampuh sampai sekarang yang sering diamalkan oleh umat Islam adalah Hizb Nashr dan Hizb Bahr, di samping Thariqah Syadziliyah yang banyak sekali pengikutnya. Hizb Bahr merupakan Hizb yang diterima langsung dari Rasulullah saw. yang dibacakan langsung satu persatu hurufnya oleh beliau saw. Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. pernah ber-riadhah selama 80 hari tidak makan, dengan disertai dzikir dan membaca shalawat yang tidak pernah berhenti. Pada saat itu beliau merasa tujuannya untuk wushul (sampai) kepada Allah swt. telah tercapai. Kemudian datanglah seorang perempuan yang keluar dari gua dengan wajah yang sangat menawan dan bercahaya. Dia menghampiri beliau dan berkata, ”Sunguh sangat sial, lapar selama 80 hari saja sudah merasa berhasil, sedangkan aku sudah enam bulan lamanya belum pernah merasakan makanan sedikitpun”. Suatu ketika saat berkelana, beliau berkata dalam hati, “Ya Allah, kapankah aku bisa menjadi hamba-Mu yang bersyukur?”. Kemudian terdengarlah suara, “Kalau kamu sudah mengerti dan merasa bahwa yang diberi nikmat hanya kamu saja”. Beliau berkata lagi, “Bagaimana saya bisa begitu, padahal Engkau sudah memberi nikmat kepada para Nabi, Ulama dan Raja?”. Kemudian terdengarlah suara lagi, “Jika tidak ada Nabi, kamu tidak akan mendapat petunjuk, jika tidak ada Ulama kamu tidak akan bisa ikut bagaimana caranya beribadah, jika tidak ada Raja kamu tidak akan merasa aman. Itu semua adalah nikmat dari-Ku yang kuberikan hanya untukmu”. Beliau pernah khalwat (menyendiri) dalam sebuah gua agar bisa wushul (sampai) kepada Allah swt. Lalu beliau berkata dalam hatinya, bahwa besok hatinya akan terbuka. Kemudian seorang waliyullah mendatangi beliau dan berkata, “Bagaimana mungkin orang yang berkata besok hatinya akan terbuka bisa menjadi wali. Aduh hai badan, kenapa kamu beribadah bukan karena Allah (hanya ingin menuruti nafsu menjadi wali)”. Setelah itu beliau sadar dan faham dari mana datangnya orang tadi. Segera saja beliau bertaubat dan minta ampun kepada Allah swt. Tidak lama kemudian hati Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. sudah di buka oleh Allah swt. Demikian di antara bidayah (permulaaan) Syekh Abul Hasan As-Syadzili. Beliau pernah dimintai penjelasan tentang siapa saja yang menjadi gurunya? Sabdanya, “Guruku adalah Syekh Abdus Salam Ibnu Masyisy, akan tetapi sekarang aku sudah menyelami dan minum sepuluh lautan ilmu. Lima dari bumi yaitu dari Rasululah saw, Abu Bakar r.a, Umar bin Khattab r.a, Ustman bin ‘Affan r.a dan Ali bin Abi Thalib r.a, dan lima dari langit yaitu dari malaikat Jibril, Mika’il, Isrofil, Izro’il dan ruh yang agung. Beliau pernah berkata, “Aku diberi tahu catatan muridku dan muridnya muridku, semua sampai hari kiamat, yang lebarnya sejauh mata memandang, semua itu mereka bebas dari neraka. Jikalau lisanku tak terkendalikan oleh syariat, aku pasti bisa memberi tahu tentang kejadian apa saja yang akan terjadi besok sampai hari kiamat”. Syekh Abu Abdillah Asy-Syathibi berkata, “Aku setiap malam banyak membaca Radiya Allahu ‘An Asy-Syekh Abil Hasan dan dengan ini aku berwasilah meminta kepada Allah swt apa yang menjadi hajatku, maka terkabulkanlah apa saja permintaanku”. Lalu aku bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan aku bertanya, “Ya Rasulallah, kalau seusai shalat lalu berwasilah membaca Radiya Allahu ‘An Asy-Syekh Abil Hasan dan aku meminta apa saja kepada Allah swty. apa yang menjadi kebutuhanku lalu dikabulkan, seperti hal tersebut apakah diperbolehkan atau tidak?”. Lalu Nabi saw. Menjawab, “Abul Hasan itu anakku lahir batin, anak itu bagian yang tak terpisahkan dari orang tuanya, maka barang siapa bertawashul kepada Abul Hasan, maka berarti dia sama saja bertawashul kepadaku”. Pada suatu hari dalam sebuah pengajian Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. menerangkan tentang zuhud, dan di dalam majelis terdapat seorang faqir yang berpakaian seadanya, sedang waktu itu Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili berpakaian serba bagus. Lalu dalam hati orang faqir tadi berkata, “Bagaimana mungkin Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. berbicara tentang zuhud sedang beliau sendiri pakaiannya bagus-bagus. Yang bisa dikatakan lebih zuhud adalah aku karena pakaianku jelek-jelek”. Kemudian Syekh Abul Hasan menoleh kepada orang itu dan berkata, “Pakaianmu yang seperti itu adalah pakaian yang mengundang senang dunia karena dengan pakaian itu kamu merasa dipandang orang sebagai orang zuhud. Kalau pakaianku ini mengundang orang menamakanku orang kaya dan orang tidak menganggap aku sebagai orang zuhud, karena zuhud itu adalah makam dan kedudukan yang tinggi”. Orang fakir tadi lalu berdiri dan berkata, “Demi Allah, memang hatiku berkata aku adalah orang yang zuhud. Aku sekarang minta ampun kepada Allah dan bertaubat”.
Di antara Ungkapan Mutiara Syekh Abul Hasan Asy-Syadili:
1. Tidak ada dosa yang lebih besar dari dua perkara ini : pertama, senang dunia dan memilih dunia mengalahkan akherat. Kedua, ridha menetapi kebodohan tidak mau meningkatkan ilmunya.
2. Sebab-sebab sempit dan susah fikiran itu ada tiga : pertama, karena berbuat dosa dan untuk mengatasinya dengan bertaubat dan beristiqhfar. Kedua, karena kehilangan dunia, maka kembalikanlah kepada Allah swt. sadarlah bahwa itu bukan kepunyaanmu dan hanya titipan dan akan ditarik kembali oleh Allah swt. Ketiga, disakiti orang lain, kalau karena dianiaya oleh orang lain maka bersabarlah dan sadarlah bahwa semua itu yang membikin Allah swt. untuk mengujimu.
Kalau Allah swt. belum memberi tahu apa sebabnya sempit atau susah, maka tenanglah mengikuti jalannya taqdir ilahi. Memang masih berada di bawah awan yang sedang melintas berjalan (awan itu berguna dan lama-lama akan hilang dengan sendirinya). Ada satu perkara yang barang siapa bisa menjalankan akan bisa menjadi pemimpin yaitu berpaling dari dunia dan bertahan diri dari perbuatan dhalimnya ahli dunia. Setiap keramat (kemuliaan) yang tidak bersamaan dengan ridha Allah swt. dan tidak bersamaan dengan senang kepada Allah dan senangnya Allah, maka orang tersebut terbujuk syetan dan menjadi orang yang rusak. Keramat itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti keinginan nafsunya dan tidak pula diberikan kepada orang yang badannya digunakan untuk mencari keramat. Yang diberi keramat hanya orang yang tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah (fadhal) dari Allah semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri dan amalnya.
Di antara keramatnya para Shidiqin ialah :
1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara istiqamah (kontineu).
2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi).
3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa, seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan sebagainya.
Diantara keramatnya Wali Qutub ialah :
1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt.
2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain.
3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.
4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.
Kamu jangan menunda ta’at di satu waktu, pada waktu yang lain, agar kamu tidak tersiksa dengan habisnya waktu untuk berta’at (tidak bisa menjalankan) sebagai balasan yang kamu sia-siakan. Karena setiap waktu itu ada jatah ta’at pengabdian tersendiri. Kamu jangan menyebarkan ilmu yang bertujuan agar manusia membetulkanmu dan menganggap baik kepadamu, akan tetapi sebarkanlah ilmu dengan tujuan agar Allah swt. membenarkanmu. Radiya allahu ‘anhu wa ‘aada ‘alaina min barakatihi wa anwarihi wa asrorihi wa ‘uluumihi wa ahlakihi, Allahumma Amiin. (Al-Mihrab).

Bapak, Bagaimana Keadaanmu

Saat itu Syech Hasan sedang duduk-duduk di depan rumahnya, tiba-tiba ada jenazah seorang laki-laki melintas di depan rumahnya menuju ke tempat pemakaman. Terlihat olehnya di belakang jenazah seorang anak wanita bersama para pelayat yang lain. Rambut wanita itu tergerai dan tidak henti-hentinya menangis. Jelas nampak dalam raut wajahnya rasa duka yang sangat mendalam.
Syech Hasan berfikir bahwa mungkin anak wanita itu adalah Putri dari jenazah tadi. Segera saja Syech Hasan membuntuti iring-iringan jenazah tersebut dan mendekati anak wanita yang dari tadi menangis. Tatkala sudah dekat dengan anak wanita itu, Syech Hasan mendengar dengan jelas rintihannya. “Wahai bapak, belum pernah selama hidupku mengalami perasaan sedih dan duka yang sangat mendalam seperti yang aku alami sekarang ini. Aku benar-benar merasa kehilangan bapak.” “Nak, belum pernah juga bapakmu mengalami kejadian yang menyusahkan seperti sekarang ini!” sahut Syekh Hasan.
Setelah tiba di sebuah mushalla, jenazah itu pun segera disholati dan kemudian dimakamkan. Derai tangis anak wanita tadi belum juga reda sampai acara pemakaman. Setelah acara pemakaman selesai para pengantar pun segera kembali ke rumahnya masing-masing.
Esok harinya, setelah menjalankan shalat subuh Syeikh Hasan kembali duduk-duduk santai di depan rumahnya. Namun selang beberapa lama kemudian, ia melihat anak wanita dengan jalan yang tergesa-gesa melintasi depan rumahnya. Rupanya, ia adalah anak wanita yang kemarin ditinggal mati oleh bapaknya. Anak wanita ini rupa-rupanya berjalan menuju tempat pemakaman. Merasa ada gelagat yang kurang baik, segera Syech Hasan mengikutinya dari kejauhan. Beliau ingin tahu apa sebenarnya yang ingin dikerjakan anak itu. Saat anak wanita itu memasuki makam, Syeikh Hasan mengintip dari tempat yang tersembunyi.


Tiba-tiba anak wanita itu memeluk nisan dan pipinya yang basah dengan air mata ditaruh diatas gundukan makam ayahnya, seraya berkata, “Wahai bapak, bagaimana tadi malam engkau menginap? Kemarin lusa aku masih mempersiapkan alas tidur untukmu. Lalu siapakah yang mempersiapkan alas tidurmu tadi malam? Kemarin lusa aku masih mempersiapkan lampu untuk menerangimu. Lalu siapakah gerangan yang mempersiapkan lampu untuk menerangimu tadi malam? Wahai bapak, ketika badanmu terasa pegal-pegal, seringkali aku memijat badanmu. Lalu siapa lagi sekarang yang akan memijat-mijatmu?” “Wahai Bapak,” rintihnya lebih lanjut, “Ketika engkau merasa haus, dengan segera aku mengambilkan minuman untukmu. Namun siapakah yang mengambilkan engkau minum tadi malam? Ketika engkau merasa jemu dan penat tidur terlentang, maka segara aku balikkan engkau agar nyaman. Namun siapakah tadi malam yang mau membalik tubuhmu agar nyaman?” “Dengan perasaan belas kasih, kemarin aku masih memandangi wajahmu. Tapi sekarang siapa lagi yang akan memandangi wajahmu seperti itu? Saat engkau memerlukan sesuatu, engkau segera memanggilku. Tapi bagaimana dengan malam tadi, siapakah yang engkau panggil? Bahkan kemarin lusa, aku masih memasakkan makanan untukmu. Tapi masihkah engkau juga menginginkannya dan siapa yang akan menyiapkan makanan untukmu?”
Air mata Syech Hasan tak sanggup lagi dibendungnya saat mendengar rintihan anak wanita itu. Air matanya berderai dengan derasnya berjatuhan satu persatu ke pipinya. Ia langsung menampakkan diri dari tempat persembunyiannya. “Janganlah engkau mengucapkan kata-kata seperti itu, Nak!” hibur Syech Hasan sambil mengusap rambut wanita kecil itu. “Namun katakanlah, “Wahai bapak, kemarin kami masih menghadapkan wajahmu ke arah kiblat. Lalu masihkah kini wajahmu menghadap ke kiblat ataukah telah berpaling darinya? Wahai bapak, saat kami menaruhkanmu di kubur, tubuhmu masih tampak utuh. Tapi masihkah sekarang keadaanmu seperti itu ataukah sudah habis dimakan ulat?” “Ucapkan pula, Nak! Para ulama telah mengatakan bahwa seseorang yang sudah mati itu pasti akan ditanyai tentang keimanannya. Di antara mereka ada bisa menjawab dengan benar tapi ada juga yang tidak bisa menjawabnya sama sekali. Adakah bapak termasuk di antara mereka yang bisa menjawabnya?” “Mereka juga menjelaskan bahwa sebagian jenazah itu ada yang dijepit oleh liang kuburnya sendiri hingga tulang rusuknya hancur berantakan, tapi adakalanya pula yang merasa liang kuburnya tersebut sangat luas sekali. Lalu bagaimana dengan keadaan kubur bapak sekarang ini?” “Begitu juga ada keterangan yang menyebutkan bahwa kubur itu acapkali diganti dengan taman-taman surga, tapi adakalanya pula yang diubah menjadi jurang neraka. Lalu bagaimana dengan kubur bapak sekarang? Demikian pula ada yang menerangkan bahwa sebagian kafan itu kelak akan digantikan dengan kafan surga dan adakalanya pula yang diganti dari kafan neraka. Lantas dengan apakah kafan bapak digantikan?” “Keterangan lain yang dikatakan oleh para ulama adalah bahwa kubur itu acapkali memeluk penghuninya sebagimana seorang ibu yang memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang. Tapi adakalanya pula yang mendapatkan marah dari kuburnya hingga menjepit sampai tulang belulangnya berserakan. Adakah kubur bapak sekarang marah ataukah sebaliknya memeluk bapak dengan kasih sayang?” “Demikian juga bahwa para ulama telah menjelaskan, ketika seseorang telah memasuki kuburnya, maka bila dia sebagai orang yang bertakwa, ia akan menyesal karena merasa ketakwaannya belumlah seberapa. Begitu juga dengan orang yang durhaka. Mereka akan menyesal karena semasa hidupnya tidak mau berbuat kebajikan. Lantas apakah bapak tergolong mereka yang menyesal karena tidak pernah berbuat kebajikan ataukah mereka yang menyesal karena merasa ketakwaannya belumlah seberapa?” “Wahai bapak, cukup lama aku memanggilmu! Tapi mengapa engkau tidak menjawab sedikit pun panggilanku. Ya Allah, janganlah kiranya Engkau menghalangi pertemuanku kelak di akhirat dengannya!”
Usai Syech Hasan mengajari seperti itu, anak kecil tersebut menolehkan kepalanya seraya berkata, “Kalimat-kalimat yang engkau ajarkan itu sungguh menyejukkan hatiku. Sehingga hatiku sekarang merasa lebih tentram dan memalingkan aku dari kelalaian.” Melihat anak wanita itu sudah tenang hatinya, segera saja Syech Hasan mengantarnya pulang. Demikianlah, mudah-mudahan dari kisah ini ada hikmah dan pelajaran berharga yang bisa kita renungkan bersama. Tidaklah perkara dunia yang harus kita tanyakan atau kita pikirkan pada orang yang ada di dalam kubur, namun perkara aheratlah yang harus kita tanyakan atau kita pikirkan pada orang yang sudah berada di alam kubur. []

Kisah Hikmah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar