Selasa, 29 Maret 2011

SALAH FAHAM TASAWUF

Pada zaman para sahabat Nabi saw, kaum Muslimin serta pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam, dan hukum-hakam Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali. Tidak ada satu bagian pun yang tidak dipelajari dan  dipraktikkan/diamalkan, baik lahir maupun batin; urusan dunia maupun akhirat; masalah pribadi maupun kemasyarakatan, bahkan masalah yang ada hubungannya dengan penggunaan akal, perkembangan jiwa, dan jasmani – masing-masing mendapat perhatian yang proporsional.
Timbulnya perubahan dan adanya kesulitan dalam kehidupan baru yang dihadap masyarakat Islam adalah dampak pengaruh yang  ditimbulkan dari dalam dan yang datang dari peradaban luar. Dan juga adanya bangsa-bangsa yang berbeda faham dan aliran dalam masyarakat yang semakin hari kian bertambah besar.

Dalam hal ini, terdapat orang yang perhatiannya dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlul Kalam, Mu’tazilah. Ada pula yang perhatiannya dibatasi pada bagian lahirnya (luarnya) atau hukum-hukumnya saja, yaitu Ahli Fiqh. Ada pula orang-orang yang perhatiannya pada material dan berfoya-foya, misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya. Sehingga pada saat itu, timbullah orang-orang sufi yang perhatiannya terbatas pada bagian ubudiah saja, terutama pada bagian peningkatan dan penghayatan jiwa untuk mendapatkan keridaan (ridha) Allah dan keselamatan dari
kemurkaan-Nya. Demi mencapai cita-cita tersebut, maka diharuskan zuhud atau hidup bersederhana dan mengurangi hawa nafsu. Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada Allah.
Di samping itu, kemudian timbul hal baru, yaitu cinta kepada Allah (mahabbatullah). Sebagaimana Siti Rabi’ah Al-Adawiyah, Abu Yazid Al-Basthami, dan Sulaiman Ad-Darani. Mereka adalah
tokoh-tokoh sufi. Mereka berpendapat sebagai berikut:

“Bahwa ketaatan dan kewajipan bukan kerana takut pada neraka, dan bukan keinginan akan syurga dan kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada Allah dan mencari keridaan-Nya, supaya dekat
dengan-Nya.”


Dalam syairnya, Siti Rabi’ah Al-Adawiyah telah berkata:

“Semua orang yang menyembah Allah karena takut akan neraka dan ingin menikmati syurga. Kalau aku, aku tidak demikian. Aku menyembah Allah karena aku cinta kepada Allah dan ingin ridhaNya.”

Kemudian pandangan mereka itu berubah, dari pendidikan akhlak dan latihan jiwa, berubah menjadi faham-faham baru tentang Islam, tetapi menyimpang – yaitu falsafah dan yang paling
menonjol ialah Al-Ghaulu bil Hulul wa Wahdatul-Wujud (fahaman bersatunya hamba dengan Allah – wahdatul wujud).
Faham ini juga yang dianuti oleh Al-Hallaj, seorang tokoh sufi, sehingga dihukum mati tahun 309 H kerana dia berkata, “Aku adalah Tuhan”
Fahaman Hulul berarti Allah bersemayam di dalam makhluk-Nya, sama dengan faham kaum Nasrani terhadap Isa Al-Masih. Banyak di kalangan para sufi sendiri yang menolak faham Al-Hallaj itu dan hal ini juga yang menyebabkan kemarahan para fuqaha' (ahli fiqh) khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya.
Falsafah ini sangat berbahaya kerana dapat menghilangkan rasa tanggungjawab dan beranggapan bahawa semua manusia adalah sama, baik yang jahat mahupun yang baik; dan baik yang bertauhid
mahupun yang tidak. Semua makhluk menjadi tempat bagi Tajalli (kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah. Sudah tentu faham semacam ini berbahaya. Dalam keadaan yang demikian, tentu timbul tanggapan yang
bermacam-macam. Ada yang menilai masalah tasawuf tersebut secara amat fanatik dengan memuji mereka dan menganggap semua ajarannya itu baik sekali. Ada pula yang mencelanya, menganggap semua ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan aliran tasawuf itu diambil dari agama Masehi /Kristian, agama Budha, dan lain-lainnya.
Secara objektif bahwa tasawuf itu dapat dikatakan sebagai berikut:
“Tasawuf ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang mendalam. Tidak dapat diingkari dan disembunyikan, dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Quran, Sunnah Rasul saw. dan para sahabatnya yang mempunyai sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi hubudunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana sikap khalifah Umar r.a, Ali r.a, Abu Darda’, Salman Al-Farisi, Abu Dzar r.a. dan lainnya.”
Banyak ayat Al-Quran yang menganjurkan agar waspada dari godaan yang berupa kesenangan atau fitnah dunia.
Tetapi hendaknya selalu bergerak menuju ke jalan yang diridai oleh Allah swt. dan berlomba-lomba memohon ampunan Allah swt, syurga-Nya dan takut akan azab neraka.
Dalam Al-Quran dan hadis Nabi saw. juga telah diterangkan mengenai cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya dan cinta hamba-Nya kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Quran:
“Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat besar kepada Allah …” (Q.s. Al-Baqarah: 165).
“… Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya …” (Q.s. Al-Maidah: 54).
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur
(tidak bercerai-berai) …” (Q.s. Ash-Shaff: 4).
Diterangkan pula dalam Al-Quran dan hadis mengenai masalah zuhud, tawakal, taubat, syukur, sabar, yakin, takwa, muraqabah (mawas diri), dan lain-lain mengenai maqam-maqam yang suci dalam agama.
Tidak ada golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam mentafsirkan, membahas dengan teliti dan terperinci, serta membagi soal-soal keutamaan maqam ini selain para sufi.
Merekalah yang paling mahir dan mengetahui tentang penyakit Jiwa/penyakit hati, sifat-sifatnya dan kekurangan yang ada pada manusia, mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.
Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga di sini saja dalam peranannya pada masa permulaan, yaitu adanya keinginan dalam melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat yang murni semata untuk Allah swt. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi, yaitu: “Ilmu tasawuf itu, kemudian akan meningkat ke bidang makrifat perkenalan, setelah itu ke arah khasaf ungkapan dan kurnia Allah. Hal ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani. Akhirnya, dengan ditingkatkannya hal-hal ini, timbullah penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebahagian ahli sufi.”
Di antara yang tampak dari penyimpangan sebahagian orang-orang sufi adalah sebagai berikut:
  1. Dijadikannya wijid/wisik (perasaan) dan ilham sebagai ukuran untuk dasar pengetahuan dan lain-lain; juga dapat dijadikan ukuran untuk membedakan antara yang benar dan salah. Sehingga sebagian mereka ada yang berkata, “Aku diberi tahu oleh hati dari Tuhanku (Allah).” Berbeda dengan ungkapan daripada ahli sunnah bahawa apabila mereka meriwayatkan ini mereka berkata “dari si Fulan dari si Fulan , si Fulan” sampai — “dari Rasulullah saw.”
  2. Dibedakannya antara syariat dan hakikat, antara hukum Islam dan yang bebas dari hukumnya.
  3. Dikuasai oleh faham Jabariah dan Salabiah, sehingga dapat mempengaruhi iman dan akidah mereka, yaitu berfaham bahwa manusia secara mutlak dikendalikan oleh Allah (tidak ada ikhtiar). Maka tidak perlu lagi melawan /berusaha/berikhtiar dan selalu bersikap pasif, tidak aktif.
Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di dunia dianggapnya “sampah belaka”, padahal ayat Al-Quran telah menyatakan:
“… dan janganlah kamu melupakan akan nasibmu (kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia …”
(Q.s. Al-Qashash: 77).
Fikiran dan teori di atas telah tersebar dan dipraktikkan / diamalkan di mana-mana dengan anggapan bahwa dasar dan faham sedemikian adalah sebagian daripada ajaran Islam, dan ditetapkan oleh Islam, dan ada sebagian lagi, terutama dari golongan intelektual yang belum mengerti benar tentang hal itu karena mereka tidak mempelajarinya.
Sekali lagi kita tegaskan bahawa orang sufi dahulu selalu menyuruh jangan sampai menyimpang dari garis syariat dan hukum-hukumnya.
Ibnul Qayyim berkata mengenai keterangan daripada tokoh-tokoh sufi, “Tokoh-tokoh sufi dan guru besar mereka, Al-Junaid bin Muhammad (297 H.), berkata: "Semua jalan tertutup bagi manusia, kecuali jalan yang dilalui Nabi saw."
Al-Junaid juga berkata:
“Barang siapa yang tidak hafal Al-Quran dan menulis hadis-hadis Nabi saw. maka tidak boleh
dijadikan anutan dan ditiru, kerana ilmu kita (tasawuf) terikat pada kitab Al-Quran dan As-Sunnah.”

Abu Khafs berkata:
“Barang siapa yang tidak menimbang amal dan segala sesuatu dengan timbangan Al-Kitab dan As-Sunnah, serta tidak menuduh perasaannya (tidak membenarkan wijidnya), maka mereka itu tidak termasuk golongan kaum tasawuf.”
Abu Yazid Al-Basthami berkata:
“Janganlah kamu menilai dan tertipu dengan kekuatan-kekuatan yang luar biasa, tetapi yang harus dinilai adalah ketaatan dan ketakwaan seseorang pada agama dan syariat pelaksanaannya.”

Kiranya keterangan yang paling tepat mengenai tasawuf dan para sufi adalah sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam menjawab atas pertanyaan, “Bagaimana pandangan ahli agama mengenai tasawuf?”
Ibnu Taimiyah memberi jawapan sebagai berikut:
“Pandangan orang dalam masalah tasawuf ada dua, yaitu: Sebagian termasuk ahli fiqh dan ilmu kalam
mencela dan menganggap para sufi itu ahli bid’ah dan di luar Sunnah Nabi saw. Sebagian lagi terlalu berlebih-lebihan dalam memberikan pujian dan menganggap mereka paling baik dan sempurna di antara manusia setelah Nabi saw. Kedua-duanya tidak benar. Yang benar ialah bahawa mereka ini sedang dalam usaha melakukan pengabdian kepada Allah, sebagaimana usaha orang-orang lain untuk mentaati Allah swt. Dalam keadaan mereka memberi keutamaan, ada yang cepat sampai dan dekat kepada Allah, orang-orang ini dinamakan Minal muqarrabiin (orang-orang yang terdekat dengan Allah), sesuai dengan ijtihadnya; ada pula yang tahap kekuatan ketaatannya itu sederhana/sedang-sedang saja. Orang ini termasuk bahagian kanan: Min ashhaabilyamiin (orang-orang yang berada di antara kedua sikap tadi).”

Antara golongan itu ada yang salah, ada yang berdosa, melakukan taubat, ada pula yang tetap tidak bertaubat. Yang lebih sesat lagi adalah orang-orang yang melakukan kezaliman dan kemaksiatan, tetapi menganggap dirinya orang-orang sufi.
Masih banyak lagi dari ahli bid’ah dan golongan fasiq yang menganggap dirinya golongan tasawuf, yang ditolak dan tidak diakui oleh tokoh-tokoh sufi yang benar dan terkenal. Sebagaimana Al-Junaid dan lain-lainnya.

(Diadaptasi dari fatwa DR.Yusuf Qardhawi)

Kisah Hikmah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar