Jumat, 07 Oktober 2011

KH ABBAS DJAMIL ( BUNTET-CIREBON)

ABBAS DJAMIL BUNTET: Salah Satu dari Tujuh Muqaddam Agung Tarekat 
Tijaniyyah

Al-Mukarram Kyai Abbas Djamil dari Buntet adalah Wali Allah berintelektual tinggi, pejuang hebat dan ahli organisasi. Di bawah kepemimpinannya Pesantren Buntet di Cirebon mencapai masa keemasan, walaupun saat itu situasi dalam keadaan kacau dan penuh ketegangan sebagai akibat dari berkecamuknya Perang Dunia II. Kyai Abbas adalah salah satu dari “Tujuh Kyai Besar” yang menjadi Muqaddam utama Tarekat Tijaniyyah yang diangkat oleh Mursyid Tarekat Tijaniyyah Syekh Ali ibn Abdullah at-Thayyib al-Madani dari Madinah. Ketujuh Muqaddam utama inilah yang bertanggung jawab atas penyebaran Tarekat ini ke wilayah Jawa Barat. Tujuh Muqaddam itu adalah Syekh Ali at-Thayyib Bogor (putra dari Syekh Ali ibn Abdullah at-Thayyib di Madinah), Kyai As’ari Bunyamin Garut, Kyai BADRUZZAMAN GARUT, Kyai Utsman Damiri Cimahi (Bandung), dan tiga bersaudara Kyai Buntet: Kyai Abbas Djamil, Kyai Anas dan Kyai Akyas.

Kyai Abbas Djamil adalah putra tertua dari pasangan Kyai Abdul Djamil dan Nyai Qari’ah. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1879. Kyai Abbas pertama kali belajar agama kepada ayahnya sendiri, yang merupakan Kyai terkenal pada zamannya. Kyai Abbas juga berguru kepada Kyai Anwaruddin Kriyani, lebih akrab dipanggil Ki Buyut Kriyan, yang juga dikenal sebagai Mursyid Tarekat Syattariyyah dan juga pernah menjadi penghulu agama di Kraton Kasepuhan Cirebon. Kemudian Kyai Abbas berguru ke Kyai Nasuha di Pesantren Sukunsari, Plered, Kyai Hasan di Jatisari, Weu, dan Kyai Ubaidah di Tegal. Kemudian beliau berangkat ke Mekah untuk berhaji dan menetap untuk memperdalam ilmu agama. Salah satu gurunya adalah Kyai Mahfudz dari Termas yang amat termasyhur itu. Pulang dari Mekah, Kyai Abbas kerap menemui Hadratus Syekh HASYIM ASY’ARI di Tebuireng Jombang. Bersama Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Manaf beliau ikut membidani lahirnya Pesantren Lirboyo di Kediri.
Setelah Kyai Abdul Djamil meninggal, Kyai Abbas memegang tampuk kepemimpinan pesantren. Salah satu terobosan utama yang dilakukan Kyai Abbas adalah pengenalan sistem madrasah di pesantren sembari tetap mempertahankan sistem pengajaran tradisional seperti sorogan, bandungan, dan ngaji pasaran. Pada 1928 beliau mendirikan Madrasah Abnaul Wathan Ibtidaiyah yang mengajarkan bidang studi umum dan sekuler. Dalam hal ini Kyai Abbas mengambil pedoman dari perkataan Imam Syafi’i: “Peliharalah nilai lama yang baik dan ambil nilai baru yang lebih baik,” yang kemudian menjadi motto Pesantren Buntet. Beberapa santri Kyai Abbas kelak menjadi tokoh terkenal di tingkat nasional seperti Tubagus Mansur Ma’mun, seorang qari nasional terkenal pada zamanny; H. Amin Iskandar, yang pernah menjadi dubes RI untuk Irak, Profesor Kyai Haji Ibrahim Hussein, pernah menjadi rektor IAIN Palembang dan Perguruan Tinggi ilmu al-Qur’an Jakarta dan sebagainya.
Hingga akhir hayatnya Kyai Abbas Djamil Buntet sangat aktif dalam pergerakan sosial keagamaan dan politik. Kyai Abbas meninggal pada tahun 1946 dan dimakamkan di kompleks makam santri Buntet.
Ajaran dan karamah

Sebagai Mursyid Tarekat, Kyai Abbas menempati kedudukan unik karena beliau selain menjadi Mursyid Tarekat Tijaniyyah beliau juga menjadi Mursyid Tarekat Syattariyyah. Ini agak aneh sebab tradisi Tarekat Tijaniyyah melarang pengikutnya menjadi pengikut tarekat lain. Beberapa kalangan menyatakan bahwa pengecualian ini disebabkan oleh tingginya derajat keilmuan dan spiritualitas Kyai Abbas. Pada masanya inilah Pesantren Buntet memegang peranan penting dalam menyebarluaskan Tarekat Syattariyyah dan Tijaniyyah.
Ketinggian ilmunya dan keluasan wawasannya, serta sikapnya yang progresif (di mana beliau tidak hanya mengajarkan kitab kuning tetapi juga beberapa kitab “modern”) menyebabkan namanya terkenal di seantero Jawa.                 Selain tinggi kecerdasannya, Kyai Abbas juga terkenal sebagai kyai yang sakti mandraguna. Banyak santri dan tamu yang berdatangan untuk belajar ilmu kesaktian kepada beliau. Yang datang berguru pun bukan orang biasa saja, namun sudah merupakan kelas pendekar yang ingin menambah ilmu. Konon Kyai Abbas menerima beberapa tamu sakti langsung di kamar pribadinya untuk diajak duel. Setelah diuji kemampuannya, barulah Kyai Abbas memberinya ijazah amalan kesaktian sesuai kebutuhan. Ketika Pesantren Tebuireng meminta pengamanan dari Buntet, Kyai Abbas sendiri yang langsung memimpin pasukan pengaman pendirian Pesantren Tebuireng. Kyai Abbas datang bersama kakaknya, Kyai Soleh Zamzam dari Pesantren Benda Kerep, Kyai Abdullah Pengurangan dan Kyai Syamsuri Wanatar untuk melawan para penjahat yang didukung Belanda untuk mengganggu pendirian Pesantren.
Kyai Abbas juga merupakan tokoh pejuang nasional. Di usianya yang sudah sepuh, 60 tahun, Kyai Abbas bahkan ikut terjun langsung dalam pertempuran 10 November di Surabaya. Pesantrennya juga menjadi salah satu basis perjuangan. Sebagian tokoh Hizbullah berasal dari Buntet, termasuk Kyai Abdullah Abbas (Ki Dullah), putra Kyai Abbas Djamil.

Setelah Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad, Bung Tomo, yang belakangan dikenal sebagai salah satu tokoh utama perang besar 10 November, berkonsultasi dengan Kyai Hasyim Asy’ari dan mohon doa restu untuk melawan tentara Inggris. Bung Tomo sudah tidak sabar dan mendesak Kyai Hasyim untuk segera menentukan hari penyerangan. Namun Kyai Hasyim mengatakan, “Harap bersabar, kami masih menunggu kedatangan kyai dari Cirebon.” Yang dimaksud adalah rombongan Kyai Abbas Djamil.
Menurut saksi mata, saat itu Kyai Abbas berangkat ke Surabaya bersama pasukan Hizbullah Resimen XII. Kyai Abbas mengenakan sarung, bersorban dan membawa sandal japit dari kulit (terompah). Beliau membawa kantong yang berisi bakiak (sandal dari kayu). Kyai Abbas sempat mampir di Rembang untuk bermusyawarah dengan kyai-kyai lainnya, yang kemudian memutuskan mengangkat Kyai Abbas sebagai komandan perang. Sesampainya di Surabaya, rombongan kyai pejuang ini disambut teriakan takbar. Para kyai kemudian shalat sunnah di sebuah masjid. Kyai Abbas kemudian memerintahkan para pendampingnya untuk berdoa di tepi kolam masjid dan memerintahkan para pejuang mengambil wudhu dan meminum air yang telah diberi doa. Banyak pejuang yang kurang puas hanya berwudhu, dan mereka langsung terjun masuk ke kolam. Mereka ini, yang bersenjatakan bambu runcing dan pentungan, kemudian langsung bergerak menyongsong pasukan Inggris yang bersenjatakan lengkap.
Para Kyai berdiri di atas tempat yang agak tinggi. Kyai Abbas segera mengenakan bakiak yang dibawanya dari Cirebon, membaca doa sambil menengadahkan tangannya ke langit. Saat itulah kekuatan karamah Kyai Abbas keluar. Ribuan alu (penumbuk padi) dan lesung melesat dari rumah-rumah penduduk dan menerjang para serdadu musuh, memukul mundur pasukan penjajah. Pihak sekutu kemudian mengirimkan pesawat pengebom Hercules untuk meluluhlantakkan Surabaya. Namun pesawat itu, berkat kekuatan karamah Kyai Abbas, banyak yang meledak di udara.

Hingga akhir hayatnya Kyai Abbas selalu memantau dan menyiagakan laskar santrinya sebab beliau tahu Belanda amat licik. Namun ditengah kegigihan para laskar, termasuk para kyai pemimpin Hizbullah, diplomat Indonesia melakukan kesepakatan di Linggar Jati. Konon, mendengar hasil Perjanjian Linggar Jati itu, Kyai Abbas merasa sedih dan kecewa, merasa perjuangannya dikhianati. Beliau tak lama kemudian jatuh sakit hingga wafat pada hari Minggu subuh 1 Rabiul Awal 1365 H atau 1946 Masehi.

Kisah Hikmah



1 komentar: